Hukum Humaniter tidak Bicara tentang Legalitas Perang
Berita

Hukum Humaniter tidak Bicara tentang Legalitas Perang

Ketika Ersa Siregar, wartawan RCTI, tewas di tengah pertempuran pasukan TNI dengan anggota GAM, pertanyaan yang muncul: siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Hukum Humaniter tidak Bicara tentang Legalitas Perang
Hukumonline

 

Berdasarkan catatan hukumonline TNI AD juga sudah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Hukum Humaniter. Pada akhir Maret lalu berlangsung penataran hukum humaniter kepada 50-an perwira TNI AD di Markas Direktorat Hukum TNI AD di Jalan Supriyadi, Jakarta Timur. Para peserta juga dibagikan buku panduan ‘Bertempur Secara Benar'. Dalam kaitan ini, Menteri Pertahanan juga pernah menerbitkan Surat Keputusan No. 02/M/II/2002 tentang Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. SK ini disusul antara lain dengan Surat Telegram KASAD tanggal 8 Mei 2002 tentang Perintah untuk Meningkatkan Pemasyarakatan Hukum Humaniter dan Hukum HAM di Lingkungan TNI Angkatan Darat.

 

Ditegaskan Rina Rusman, hukum humaniter tidak hanya hanya berlaku dalam peperangan antar negara (sengketa bersenjata internasional) seperti perang Amerika Serikat vs Vietnam. Tetapi juga konflik bersenjata non-internasional (KBNI). Situasi dimana Ersa Siregar tertembak bisa jadi masuk kategori KBNI.

 

Dalam konflik bersenjata internasional (KBI) selalu ada objek yang harus dilindungi. Menurut Konvensi Jenewa 1949 yang harus dilindungi adalah anggota militer yang terluka di medan perang darat, perang laut dan kapal karam, tawanan perang, dan penduduk sipil di tengah peperangan. Selain itu, berdasarkan Konvensi Den Haag 1954, benda cagar budaya juga harus dilindungi. Demikian pula ambulance, rumah sakit, dan tempat ibadah.

 

Pada perkembangannya, Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II juga sudah mempeluas cakupan perlindungan terhadap korban. Bahkan Protokol II memasukkan korban KBNI sebagai pihak yang harus dilindungi. Pemerintah sudah lama berniat meratifikasi Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa tersebut. Pada 1995 silam Mabes TNI melayangkan nada keberatan karena masih ada yang tidak sesuai jiwa Pancasila dan UUD 1945.

 

Berdasarkan hukum humaniter internasional, orang seperti Ersa Siregar mestinya dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran dalam konflik bersenjata. Tetapi kenyataannya, perang dan konlik bersenjata selalu menimbulkan korban, termasuk mereka yang karena latar belakang dan profesinya mesti dilindungi. Itulah ekses negatif peperangan dengan menggunakan senjata api.

 

Ekses negatif peperangan dan konflik diperkirakan akan meluas jika suatu saat yang dijadikan alat adalah senjata biologi dan kimia. Wilayah cakupannya kian luas dan tidak bisa memilah-milah korban apakah kombatan atau bukan. Untuk itulah perlunya pemahaman tentang hukum humaniter internasional. Hukum humaniter internasional bertujuan meminimalisir penderitaan dan kerugian akibat perang selama dan sesudah masa perang, ujar Rina Rusman, Legal Advisor Komite Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) untuk Indonesia.

 

ICRC adalah salah satu lembaga yang terus mendorong pemahaman masyarakat internasional tentang hukum humaniter. Basis hukum kerja ICRC dimanapun adalah bersifat tidak memihak kepada salah satu kubu yang berperang atau berkonflik. Dalam bekerja ICRC berusaha untuk diterima semua pihak, karena dalam menangani korban perang, misalnya, Komite ini tidak membedakan latar belakang korban.

 

Oleh karena itu, ketika berada di tengah-tengah peperangan, ICRC tidak dalam posisi menentukan apakah perang itu sah, dan apakah salah satu kubu sebagai pemberontak. Bukan pula menilai apakah tindakan angkat senjata suatu kelompok terhadap pemerintahannya sebagai langkah yang benar atau salah. Kami bukan bicara tentang legalitas dan tidak legalnya suatu perang, tandas Georges Paclisanu, Kepala Perwakilan ICRC di Indonesia.

 

George Paclisanu menyampaikan hal tersebut dalam ceramah umumnya di Gedung Habibie Center Jakarta, Rabu (29/4). Dalam ceramahnya, Paclisanu menegaskan bahwa kehadiran ICRC di daerah perang atau konflik bersenjata bukan untuk melawan militer, melainkan memberikan pemahaman agar kedua pihak yang bertikai menghormati prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Karena itu pula, ia meminta aparat militer di negara manapun, termasuk TNI, bisa mengadopsi ‘legal constraint' hukum humaniter internasional.

Tags: