Suami Beli Properti Diam-diam untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya
Terbaru

Suami Beli Properti Diam-diam untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya

Jual-beli properti dan hibah properti menggunakan harta bersama dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum terhadap harta bersama.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Penjelasan mengenai alasan perbuatan hukum yang dilakukan tersebut menjadi batal demi hukum juga dapat disimak dalam artikel “Hukumnya Menghibahkan Harta Bersama Tanpa Persetujuan Istri.” Disarikan dari artikel tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan hukum tersebut batal demi hukum karena perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang. Dalam hal ini, suami dikatakan sebagai pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum karena perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa persetujuan istri.

Masih dari sumber yang sama, Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam buku Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal.12-13) menegaskan, perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum.

Karena batal demi hukum, maka konsekuensinya maka perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal dan keadaan kembali seperti semula.

Oleh karenanya, dari sisi penjual properti, untuk mengantisipasi permasalahan hukum semacam ini di kemudian hari sebagaimana telah diterangkan di atas, maka penjual harus memastikan bahwa si pembeli yang telah menikah memenuhi persyaratan dokumen, di antaranya:

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan istri;

b. Fotokopi Kartu Keluarga;

c. Fotokopi Akta Nikah;

d. Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh suami/istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan Akta Jual Beli (AJB).

Dugaan Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Dalam hal penjual telah mempersyaratkan Surat Persetujuan Jual-Beli Properti yang ditandatangani oleh istri yang berhalangan hadir saat penandatanganan AJB, dan suami yang bersangkutan telah melampirkan dokumen yang dipersyaratkan tersebut sehingga jual-beli properti dapat dilakukan tanpa sepengetahuan istri, maka patut diduga sang suami telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

Untuk dapat dijerat Pasal 263 ayat (1) KUHP, R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 195) menjelaskan, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:

  1. Dapat menerbitkan hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, surat andil dan lainnya;
  2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan sebagainya;
  3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kwitansi atau surat semacam itu; atau
  4. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, dan masih banyak lagi.

Dengan demikian, apabila suami telah memalsukan surat persetujuan istri untuk membeli dan menghibahkan properti, maka perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana pemalsuan surat.

Tags:

Berita Terkait