Hukum Pidana Nasional akan Mengenal Hukuman Kerja Sosial
Utama

Hukum Pidana Nasional akan Mengenal Hukuman Kerja Sosial

Selama ini jenis pidana pokok dalam KUHP hanya mengenal pidana penjara, pidana denda dan pidana tutupan. Ke depan, akan diperkenalkan sistem hukuman kerja sosial. Dinilai bisa mengakomodasi hak-hak korban.

Oleh:
Mys/CR-1
Bacaan 2 Menit
Hukum Pidana Nasional akan Mengenal Hukuman Kerja Sosial
Hukumonline

Menurut Mustofa, dalam kerja sosial yang urgen bukan hukuman. Sebab hal ini menunjukkan bahwa pelaku menyesali perbuatannya, dalam arti menyesali dengan melakukan kerja sosial bagi masyarakat.  

Itu sebabnya, Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nasidik berpendapat bahwa hukuman kerja sosial akan bermanfaat bagi terpidana dan masyarakat. Kerja sosial dapat dijadikan napi untuk melatih diri agar tidak kaku. Sehingga lebih berguna bila kembali ke masyarakat, katanya.

Enam bulan

Namun patut dicatat bahwa tidak semua hukuman bisa digantikan dengan pidana kerja sosial. Pasal 79 ayat (1) RUU KUHP sudah tegas menyebut batasan, Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial. 

Berdasarkan RUU KUHP, hukuman kerja sosial merupakan alternatif dari jenis hukuman lain. Hukuman kerja sosial merupakan alternatif terakhir bagi hakim setelah mempertimbangkan jenis pidana lain. Sebab persyaratan untuk menjatuhkan hukuman kerja sosial pun tidak gampang. Setidaknya, hakim wajib mempertimbangkan pengakuan bersalah dari terdakwa.

Kriminolog Muhammad Mustofa berpendapat, sebaiknya hakim melihat realitas hukuman penjara yang ternyata tidak mengembalikan napi ke dalam masyarakat. Sistem pidana penjara tidak terlalu efektif mendidik karena yang bergaul adalah sesama napi. Itu sebabnya, ia menyarankan agar hukuman kerja sosial banyak dipertimbangkan hakim. Hukuman yang melakukan proses kembali ke masyarakat seperti kerja sosial itu yang harus banyak diterapkan, ujarnya. 

Namun baik Mustofa maupun Rachland kurang sependapat dengan pembatasan waktu yaitu hanya pidana yang akan dijatuhkan enam bulan atau denda kategori I. Sebab, yang penting bukan hukumannya. Relatif, karena belum tentu bisa membuat penjahat kelas kakap yang dihukum ringan enam bulan jera kalau hanya kerja sosial, ujar Rachland.

Patut dicatat bahwa selain mempertimbangkan berat ringannya hukuman, RUU KUHP juga membuat batasan usia jika ingin menerapkan kerja sosial. Pidana kerja sosial paling lama 240 jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 tahun ke atas. Sementara bagi yang di bawah 18 tahun paling lama 180 jam. Tetapi kedua kategori usia itu tetap wajib melaksanakan kerja sosial minimal 7 (tujuh) jam.

Vonis yang menghukum seseorang melakukan kerja sosial lebih sering bergema dari pengadilan-pengadilan di luar negeri. Tetapi kini harapan untuk menerapkan jenis pidana tersebut bukan lagi mustahil. Tim penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP sudah memasukkannya ke dalam draft yang selesai disusun sejak 1992 lalu.

Selain memasukkan jenis kerja sosial, RUU KUHP juga memperkenalkan jenis pidana pokok lain yang baru yaitu pidana pengawasan. Tim penyusun menjelaskan bahwa kedua jenis pidana baru tersebut perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan. Sebab, demikian ditulis pada bagian penjelasan RUU, dengan pelaksanaan kedua jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.  

Dukungan terhadap konsep pemidaan baru ini pun datang dari DR Muhammad Mustofa.  Kriminolog Universitas Indonesia itu bahwa diperkenalkannya pidana kerja sosial merupakan upaya untuk menjembatani kepentingan korban dengan pelaku. Jadi hukuman kerja sosial ini melayani kepentingan korban, ujarnya kepada hukumonline.

Tags: