Hukum yang Hidup dan Berkembang dalam Masyarakat
Kolom

Hukum yang Hidup dan Berkembang dalam Masyarakat

Keberadaan masyarakat adat ini kemudian bisa dianggap sebagai subjek hukum yang artinya masyarakat adat harus mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur.

Dari sudut pandang berbeda, tentang keniscayaan (keberagaman (sub-)sistem hukum atau legal pluralism), Sally Falk Moore (1924-2021) mengajukan pandangannya tentang semi-autonomous social fields, di mana hukum negara dan hukum yang hidup (dan masyarakat tempat kedua bentuk hukum tumbuh kembang) dimaknai sebagai social fields yang bersinggungan dan bertumpang tindih. Bertitik tolak dari social field itu pula dapat kita pahami keterlindanan masyarakat (dan hukum) local-nasional dengan hukum trans-inter nasional.

Kesamaan dari sebagian saja ragam cara pandang terhadap hukum dan masyarakat yang diungkap di atas setidaknya menunjukkan fakta tidak mungkinnya hukum negara (peraturan perundang-undangan) mendominasi dan menjadi satu-satunya sumber rujukan norma (hukum) bagi masyarakat ketika mengatur-mengendalikan kehidupan sehari-hari. Negara (termasuk hakim) dan masyarakat bagaimanapun juga akan terus berhadapan dengan keberlakuan ragam sub-sistem hukum (tertulis-tidak tertulis) yang juga tidak serta selaras satu sama lain.

Legal Pluralism di Indonesia

Lain dari itu, uraian singkat di atas kiranya menunjukkan bahwa konsep hukum yang hidup dapat dipahami dengan ragam cara tergantung pada pilihan pendekatan yang digunakan. Lantas bagaimana konsep ini dipahami di Indonesia? Pertama dapat dicermati dalam pembelajaran hukum di Indonesia perujukan pada konsep jiwa bangsa akan dikaitkan pada staasfundamentalnorm (Pancasila). Ini dengan ringkas dirumuskan oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid ketika yang menyatakan: "Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila digali dan diambil dari bumi bangsa Indonesia sendiri. Karena itu seluruh sila-sila dalam Pancasila, sejalan dengan nilai-nilai yang hidup serta dipegang oleh seluruh masyarakat Indonesia."

Namun di sini dapat dicermati adanya pergeseran. Pancasila, dimaknai sebagai jiwa bangsa pada akhirnya dirumuskan, dituliskan dan dirangkumkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Lebih dari itu, pemahaman jiwa bangsa ini kerapkali juga ditundukkan pada tafsir resmi negara, seperti yang terjadi pada masa penataran pedoman-penghayatan-pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa; pada periode 1980-1990an). Pemahaman seperti ini sayangnya tidak terlalu berguna bagi hakim yang harus memeriksa dan memutus apa yang seharusnya menjadi hukum dalam perkara-perkara konkrit yang dihadapkan kepadanya.

Opsi lain adalah menafsir ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (lama atau hasil amandemen). Ketentuan yang ada di dalam konstitusi membuka peluang bagi pengakuan dan penghormatan Negara akan daerah swatantra (volkgemeinschaften-zelfstandige gemeenschappen-inheemsche rechtsgemeenschappen) dan/atau swapraja (zelfbesturende landschappen). Ketentuan ini diterjemahkan menjadi pilihan kebijakan negara untuk memberi atau menolak pemberian pengakuan-penghormatan (hukum) atas keistimewaaan pemerintahan di daerah-daerah istimewa (Yogyakarta, Jakarta dan Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam), otonomi biasa atau khusus bagi pemerintah daerah (kabupaten-kota-desa-desa adat), maupun satuan masyarakat hukum adat serta klaim kepemilikan-penguasaannya atas sumberdaya alam.

Untuk yang terakhir persyaratan diberikannya pengakuan dan penghormatan dikaitkan pada kriteria: sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pra-kondisi yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan dan ketentuan (Permendagri 52/2014: pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat; Permen Kelautan dan Perikanan 8/2018: Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; Peraturan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut 14/2018: juknis tata cara penetapan wilayah kelola masyarakat hukum adat dll), menjadi sejumlah prasyarat (normatif ataupun empiris) yang harus dipenuhi masyarakat adat untuk mendapat pengakuan-penghormatan.

Pertama sebagai subjek hukum publik yang berhak menetapkan-memberlakukan hukum adat di dalam wilayah adat (tanah komunal) dan kedua, sebagai subjek hukum (publik) yang berhak mengklaim penguasaan sah atas tanah dan/atau sumberdaya alam. Tidak atau belum jelas jangkauan pengakuan pemerintah tersebut: apakah masyarakat hukum adat akan diakui otonominya sebagai badan hukum public dengan kewenangan membuat-menjaga-menegakan hukum adat yang sudah dan akan ada atau sekadar mempertahankan hukum adat yang sudah ada sepanjang mengenai pengelolaan tanah atau sumberdaya alam (hutan)?

Tags:

Berita Terkait