Consumer Confidence, Kunci Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi
Berita

Consumer Confidence, Kunci Pemulihan Ekonomi Pasca Pandemi

Bantuan sosial saja tidak cukup untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan konsumsi dari masyarakat kelas menengah dan kelas atas.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

Kemudian Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk terus menjaga keberlanjutan fiskal di tahun 2020. Realisasi defisit APBN hingga akhir Juli 2020 mencapai Rp330,17 triliun atau sekitar 2,01% PDB. Realisasi pembiayaan anggaran hingga Juli 2020 sudah mencapai Rp502,97 triliun (48,40% dari pagu Perpres 72/2020), terutama bersumber dari pembiayaan utang. Realisasi pembiayaan utang hingga akhir Juli 2020 mencapai Rp519,22 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (neto) sebesar Rp513,41 triliun dan realisasi Pinjaman (neto) sebesar Rp5,81 triliun.

Di sisi lain, Pemerintah juga telah merealisasikan pengeluaran pembiayaan investasi sebesar Rp16,50 triliun, yang pencairan PMN kepada BUMN sebesar Rp9,50 triliun dan investasi kepada BLU sebesar Rp7,00 triliun.

Selain itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) terus bersinergi dan melakukan koordinasi intensif dalam upaya pemulihan ekonomi nasional sebagaimana kesepakatan yang tertuang dalam SKB I dan II. Partisipasi BI berdasarkan SKB I telah mencapai Rp42,956 triliun, sedangkan berdasarkan SKB II (burden sharing) sebesar Rp82,1 triliun yang digunakan untuk belanja kelompok public goods dan Rp22 triliun untuk pemenuhan pembiayaan non-public goods.

Upaya penanganan pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional membutuhkan pembiayaan yang cukup besar yang sebagiannya dipenuhi oleh pembiayaan. Namun demikian, pemerintah senantiasa menjaga pemenuhan aspek kehati-hatian (prudent) dan akuntabel serta dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dalam memperoleh pembiayaan utang.

Pemerintah berkomitmen untuk menempatkan APBN sebagai instrumen fiskal untuk melindungi masyarakat dan perekonomian Indonesia di tengah kondisi yang dipenuhi ketidakpastian ini.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal meminta pemerintah untuk memberikan perhatikan kepada pihak-pihak yang berada diluar UMKM seperti nasib karyawan yang sudah di PHK ataupun terancam di PHK. Dia menilai pemerintah harus mengambil langkah strategis untuk mencegah gelombang PHK selanjutnya.

“Bagaimana yang diluar UMKM, misalnya karyawan ada yang sudah di PHK dan ada yang terancam di PHK. Maka perlu ada langkah strategis, paling tidak mencegah ada gelombang PHK yg lebih jauh, diusahakan yang kerja tetap kerja. Jika perusahaan terancam berarti memang perlu ada stimulus yang mengarah pada institusi perusahaan, misalnya subsidi gaji yang diberikan kepada perusahaan untuk karyawan, supaya karyawan tidak di PHK, listrik murah. Stimulus harus lebih tajam,” katanya.

Sementara itu terkait insentif untuk karyawan yang sudah di PHK berupa kartu prakerja, Faisal menilai hal tersebut belum efisien jika dilihat dari sisi kecepatan implementasi. Pasalnya, besaran insentif yang diberikan oleh pemerintah dinilai cukup lamban karena adanya syarat pelatihan yang harus dilakukan oleh peserta.

“Kalau sudah di PHK? Stimulus untuk karyawan di PHK ada kartu prakerja, hanya saja memang sekali lagi dari sisi kecepatan implementasi dan desain, kalau masih ada syarat pelatihan, bukan hanya mengurangi besarnya uang diterima, tapi juga memperlambat, dan itu distorsi untuk merespon orang yang terkena PHK,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait