Ia yang Pertama Perempuan, Terlupakan, Menyimpan Pujian
Feature

Ia yang Pertama Perempuan, Terlupakan, Menyimpan Pujian

Pernah menentang profesor, Ketua Mahkamah Agung, bahkan Presiden. Kiprahnya hampir tidak tercatat dalam sejarah hukum Republik Indonesia.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 10 Menit

Seperti apa sebenarnya sosok Sri Widoyati?

Gelar sarjana diperoleh oleh Sri Widoyati dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada April 1955. Hanya dua bulan sejak itu ia sudah diangkat sebagai penjabat hakim Pengadilan Negeri Semarang pada Juni 1955. Ajaibnya, ia berkali-kali pernah merangkap hakim di tiga sampai lima pengadilan sekaligus.

Sejarah mencatat ia pernah merangkap hakim di Pengadilan Negeri Semarang, Demak, Kendal, Purwodadi, dan Salatiga antara Oktober 1955 sampai April 1961. Selanjutnya, ia bertugas hakim di tiga pengadilan tingkat pertama sekaligus yaitu di Kudus, Jepara, dan Semarang pada tahun 1961-1962. “Ia lalu mengisahkan bagaimana mesti menempuh jarak beberapa puluh kilometer tiap hari untuk menjalankan tugasnya di tiga pengadilan itu,” tulis Chairunnisa Jafizham, advokat yang mengagumi Sri Widoyati dalam antologi.

Kala itu jumlah hakim jauh lebih sedikit, apalagi hakim perempuan. Entah bagaimana Sri Widoyati menyanggupi hidup sebagai hakim dengan cara begitu. Setidaknya Chairunnisa mencatat kutipan ucapan langsung dari Sri Widoyati yang berkesan baginya, “Sebenarnya yang jadi hakim itu mestilah orang yang punya panggilan. Gaji hakim yang kecil tidak perlu dikeluhkan kalau seseorang itu menjadi hakim untuk memenuhi panggilannya”.

Hukumonline.com

Sri Widoyati sudah dipercaya menjabat Ketua Pengadilan Negeri Kudus merangkap Ketua Pengadilan Negeri Jepara dan juga hakim di Pengadilan Negeri Semarang pada April 1961 sampai September 1962. Kariernya menanjak saat September 1962 dipromosikan sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Jakarta sampai Februari 1968. Lalu, sejak Februari 1968 sampai akhir hayatnya Sri Widoyati menjadi Hakim Agung, pertama, dan satu-satunya perempuan kala itu.

Nani Yamin, Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK) mengenang pesan sahabatnya itu. “Hendaknya para penegak hukum wanita menjadi contoh dan pelopor perjuangan untuk menegakkan hukum serta mewajibkan diri untuk mengabdi kepada demokratisasi negaranya,” kata Nani mengutip ucapan Sri Widoyati. Pesan itu ia terima saat lembaga yang dipimpinnya mengadakan diskusi panel memperingati hari Kartini.

“Sampai kini kata-kata itu tidak dapat kami lupakan dan masih tetap terngiang di telinga kami,” kata Nani. LKBHuWK yang dipimpin Nani ini salah satu pemrakarsa penerbitan antologi Anak dan Wanita dalam Hukum untuk mengenang setahun wafatnya Sri Widoyati. Buku itu kemudian diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Selama berkarier di Jakarta Sri Widoyati aktif dalam berbagai organisasi kesarjanaan dan profesi. Ia menjadi anggota pimpinan Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI) Pusat tahun 1963-1964 dan juga Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI). Ia lalu menjabat Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang Jakarta Raya tahun 1966-1967 dan Ketua Sekretariat Bersama Pengabdi Hukum tahun 1967-1971.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait