Ia yang Pertama Perempuan, Terlupakan, Menyimpan Pujian
Feature

Ia yang Pertama Perempuan, Terlupakan, Menyimpan Pujian

Pernah menentang profesor, Ketua Mahkamah Agung, bahkan Presiden. Kiprahnya hampir tidak tercatat dalam sejarah hukum Republik Indonesia.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 10 Menit

“Aku kenal dikau pertama kalinya di saat-saat bangsa dan negara ini masih dalam keadaan bahaya. Waktu itu, Februari 1966…kau bicara begitu lantang dan berani dalam mengupas dan membeberkan situasi kebobrokan negara yang kita hadapi di bidang hukum dan peradilan,” kata Adnan Buyung dalam tulisan kenangannya di tahun kematian Sri Widoyati. Adnan Buyung memuji keberanian Sri Widoyati terlibat dalam rapat-rapat pergerakan tersembunyi kalangan sarjana dan profesi hukum.

Atmakusumah Astraatmadja, jurnalis kenamaan yang menyunting buku antologi Sri Widoyati, menjelaskan sosoknya yang melawan tirani Orde Lama. “Selaku Ketua IKAHI Jakarta Raya ia bersama pimpinan IKAHI Pusat memperjuangkan kehidupan konstitusional sesuai dengan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,” kata Atmakusumah.

Ada perkataan Sri Widoyati yang tercatat dalam tulisannya berjudul Kekuasaan, Hukum, dan Keadilan Masyarakat menguatkan pendapat Atmakusumah. “Seharusnya antara kekuasaan dan hukum wajib ada hubungan timbal balik. Kekuasaan timbul karena hukum, sedangkan hukum bersumber pada rasa keadilan masyarakat, maka kekuasaan dapat memelihara tertib masyarakat dengan cara yang adil pula,” tulis Sri Widoyati.

Adnan Buyung juga menyebut sosok Yati sebagai perintis gagasan LBH. Sri Widoyati lebih dulu pernah memimpin organisasi Pengabdi Hukum yang isinya relawan dari polisi, jaksa, advokat, dan hakim. Perannya serupa konsep bantuan hukum yang dilakukan oleh relawan lintas profesi hukum.

Sebastiaan Pompe, peneliti asal Belanda merujuk informasi dari koleganya peneliti asal Amerika Daniel Saul Lev menyebut sosok Sri Widoyati berpegang teguh pada hukum dan keadilan. Keduanya mengonfirmasi keberanian Sri Widoyati. Ia tidak ragu menentang Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro yang menyampaikan titipan vonis dari Presiden Soekarno.

Pompe mencatat bagaimana Sri Widoyati tidak goyah saat dosennya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu membujuknya, bahkan dengan surat Instruksi Presiden. “Dari segi apapun adalah perempuan luar biasa, yang pada 1970-an gigih mempertahankan integritas moralnya pada saat seluruh Mahkamah Agung kandas,” kata Pompe.

Namun, di laporan riset yang sama Pompe mencatat informasi betapa Sri Widoyati adalah manusia biasa. Ia berhasil mendapat penuturan secara pribadi dari orang yang dekat dengan Sri Widoyati. “Sri tergoda untuk melakukan korupsi, tetapi ia tidak berani… Sehingga ia ingin kaya dan menanggung kemiskinan bukan demi dirinya, melainkan demi kedudukan dan peran Mahkamah Agung,” kata sumber Pompe di tahun 1994.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait