Menentang Sang Profesor dan Ketua
Ada dua kasus yang penting tercatat melibatkan Sri Widoyati. Misalnya tentang intervensi pemerintah di masa diktator Demokrasi Terpimpin Orde Lama. Pompe mencatat rincian beberapa insiden intervensi pemerintah terhadap Mahkamah Agung dalam menangani perkara. Salah satu yang disebut melibatkan Sri Widoyati. Kasus Cosmas terjadi tahun 1962, saat ia masih menjabat hakim pengadilan negeri. Bisa dikatakan ini adalah salah satu bukti kegigihan Sri Widoyati menjaga integritas hakim.
Kasusnya adalah penyelundupan, tetapi Presiden Soekarno ingin agar diadili sebagai kasus subversi. Tujuannya agar bisa menjatuhkan hukuman mati melalui vonis hakim. Pompe yang merujuk informasi Daniel Saul Lev mencatat bagaimana Soekarno menitip vonis mati lewat Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro. Sri Widoyati sebagai hakim yang menangani perkara menolak itu. Ia tidak mau memutus penyelundupan sebagai kasus subversi apalagi menjatuhkan pidana mati.
Konon Wirjono berkeras bahkan membujuk Sri Widoyati. “Wirjono berkeras seraya menyebutkan tekanan yang menghimpitnya, memohon-mohon kepada Sri Widoyati, sambil mengatakan bahwa ia adalah mahasiswa kesayangannya sewaktu kuliah, bahkan sampai menangis,” kata Pompe mengutip catatan Daniel Saul Lev.
Sri Widoyati mencoba mengelak dengan meminta surat Instruksi Presiden yang memerintahkan demikian sebagai alasan. Ia tidak membayangkan Presiden akan berani mengirim surat kepadanya berisi permintaan untuk menjatuhkan hukuman mati. “Di luar dugaannya, Wirjono muncul keesokan harinya dengan surat dimaksud,” kata Pompe lagi.
Sri Widoyati tetap teguh tidak mau memutus perkara itu dengan titipan vonis dari Presiden Soekarno. Ia minta kasus Cosmas diserahkan kepada hakim lain. Akhirnya kasus itu sungguh dijatuhi vonis mati oleh hakim lain. Namun, upaya banding dilakukan. Akhirnya ketika upaya hukum terus berlangsung sampai Mahkamah Agung, era diktator Demokrasi Terpimpin sudah ambruk.
Kasus kedua yang melibatkanya adalah Putusan Mahkamah Agung No.679 K/Sip/1968. Putusan kasasi ini dijatuhkan pada 25 September 1969 dan ditetapkan sebagai yurisprudensi hukum adat. Kaidah yurisprudensi yang terbentuk adalah anak angkat pewaris berhak atas barang gawan yang diperoleh dari usahanya pewaris sendiri dan tidak perlu dibagi dengan ahli waris ke samping. Kasus hukum adat ini berasal dari Pengadilan Negeri Temanggung antara Ahli waris dari almarhum Hardjohudojo nk. Dulah Si'In melawan R. Prawoto. Sri Widoyati bertindak sebagai hakim anggota yang ikut menentukan terbentuknya yurisprudensi itu.
Kiprah lain Sri Widoyati adalah ikut merumuskan atau setidaknya memberikan saran perbaikan sejumlah rancangan undang-undang. Atmakasumah mencatat antara lain UU Hak Cipta, UU Perkawinan, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Peradilan Anak, dan UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Ia tercatat ikut pula mendirikan Universitas Semarang pada tahun 1956 bersama beberapa sarjana lainnya saat berdinas di Semarang. Kampus itu kemudian berganti nama menjadi Universitas Diponegoro. Sri Widoyati mengisi kuliah hukum perdata internasional kala itu. Ia juga gemar terus belajar sampai mengikuti pendidikan pascasarjana di School of Sociology, University of California Los Angeles. Saat itu ia melakukan penelitian lapangan masalah kenakalan anak-anak dan remaja pada 1958-1959 di Amerika Serikat.
Masih puja-puji dalam buku antologi Sri Widoyati, entah bagaimana Adnan Buyung menulis demikian dalam salah satu bagian di sana, “Kejujurannya tidak ada tandingannya di antara para hakim… Saya ingin bicara jujur, tanpa Widoyati saya tidak akan seberhasil dan sekuat sekarang dalam bidang hukum”.
Tidak Ada Pengaturan Khusus Hakim Perempuan
Hampir saja Sri Widoyati menjadi Ketua Mahkamah Agung menggantikan Prof. R. Subekti. Namun, pencalonannya kandas secara misterius. Pompe dalam risetnya menduga ada keterlibatan rezim militer Orde Baru. “…pencalonannya dikandaskan ketika tentara mengendusnya dan melancarkan kampanye bisik-bisik,” kata Pompe.
Kiprah Sri Widoyati sebagai hakim agung perempuan pertama terlihat menyimpan teladan. Bagaimana kondisi keterlibatan hakim perempuan hari ini di peradilan hingga kursi Mahkamah Agung?
Hukumonline mencatat jabatan tertinggi yang bisa dicapai hakim perempuan adalah Wakil Ketua Mahkamah Agung. Mariana Sutadi Nasution menduduki kursi Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial selama periode 2004-2008 saat Ketua Mahkamah Agung dijabat Prof. Bagir Manan.
“Seluruh proses calon hakim dan hakim agung tidak membatasi atau khusus spesifik keterwakilan perempuan. Mereka terpilih karena kemampuannya diantara para pendaftar,” kata Rizkiansyah dari Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung.
Juru Bicara Komisi Yudisial, Miko Susanto Ginting menjelaskan hal yang sama. “Tidak ada kebijakan atau standar tertulis. Namun, sepanjang saya di KY dari pertengahan 2021, kebijakan afirmasi berbasis gender selalu jadi pertimbangan,” kata Miko dalam keterangan tertulisnya kepada Hukumonline. Hasilnya, selalu ada calon hakim agung perempuan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat oleh Komisi Yudisial. Miko memastikan hal yang sama dengan Rizkiansyah bahwa hakim agung perempuan yang terpilih lewat prosedur di Komisi Yudisial adalah kandidat terbaik dari pendaftar.
Peneliti Senior LeIP lainnya, Dian Rositawati menjelaskan saat ini ada tujuh hakim agung perempuan yang masih menjabat. Angka ini ia anggap jauh lebih baik dibandingkan Mahkamah Konstitusi yang hanya punya satu hakim perempuan yang menjabat.
“Secara kuantitatif jumlah hakim perempuan masih kurang dari 30% atau tepatnya 28,81 %, sehingga menyebabkan tingkat kemungkinan perempuan menjadi hakim agung juga pasti lebih kecil daripada hakim laki-laki,” kata perempuan yang akrab disapa Tita ini.
Persoalan lain adalah faktor sosial soal peran perempuan sebagai Ibu yang berisi sejumlah tuntutan sosial. Ia menilai persepsi masyarakat tentang peran perempuan sebagai Ibu terkadang memberikan beban lebih besar dalam mengelola keluarga. Akibatnya, seringkali para hakim perempuan lebih memilih untuk tidak mengejar karier demi bisa menyeimbangkan pekerjaan dan tanggung jawab domestik. Apalagi, kebijakan promosi dan mutasi hakim mengharuskan perpindahan lokasi tugas dinas setiap 2-3 tahun dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya.
“Perlu di-review kebijakan yang bisa menghambat kepemimpinan hakim perempuan, sehingga memberikan insentif dan peluang pada hakim perempuan menaiki posisi pimpinan pengadilan maupun menjadi hakim agung,” usul Tita
Tita menegaskan pentingnya keterwakilan perempuan di kursi hakim agung. Hal itu karena perkara yang masuk ke pengadilan sangat beragam disebabkan keragaman dalam masyarakat sendiri. Keragaman tersebut seharusnya direspon dalam komposisi hakim agung atau hakim di pengadilan.
“Tentu ini bukan satu-satunya cara, hakim baik laki-laki maupun perempuan, di semua tingkatan peradilan perlu memahami perspektif gender dalam memeriksa dan memutus perkara,” lanjutnya.
Ia setuju jika Komisi Yudisial mengatur upaya pengarusutamaan keberimbangan gender di posisi hakim agung. Namun, Tita mewanti-wanti perspektif gender dalam komposisi hakim agung tidak boleh mengalahkan aspek kualitas dan integritas. Persyaratan kualitas dan integritas juga perlu dipertimbangkan. “Bukan hanya melihat dari pertimbangan gender belaka. Jadi semua komponen tersebut harus diterapkan secara berimbang,” katanya.
Menarik dicatat kenangan Chairunnisa Jafizham, advokat yang mengagumi Sri Widoyati dalam antologi. Chairunnisa mengatakan isi pernyataan Sri Widoyati, “Ia berpendapat, suatu hal yang keterlaluan seandainya hakim wanita dapat disogok. Wanita, menurut Hakim Agung ini, biasanya lebih bermoral”.