Ia yang Pertama Perempuan, Terlupakan, Menyimpan Pujian
Feature

Ia yang Pertama Perempuan, Terlupakan, Menyimpan Pujian

Pernah menentang profesor, Ketua Mahkamah Agung, bahkan Presiden. Kiprahnya hampir tidak tercatat dalam sejarah hukum Republik Indonesia.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 10 Menit
Hakim Agung Sri Widoyati Wiratmo Soekito. Foto Repro: Istimewa
Hakim Agung Sri Widoyati Wiratmo Soekito. Foto Repro: Istimewa

“Menjadi hakim tidak hanya soal kedudukan. Tetapi yang penting suatu panggilan untuk melakukan tugas yang pada dasarnya hanya dapat dilakukan oleh Tuhan.”

- Hakim Agung Sri Widoyati Wiratmo Soekito -

Nama dan sosoknya terkubur di belantara sejarah panjang peradilan Indonesia. Hampir tidak ada yang mengenalinya, apalagi mengenang kiprahnya. Hukumonline hampir menyerah untuk menggali informasi tentang sosoknya. Ibarat mengumpulkan keping teka-teki gambar tanpa petunjuk.

Nama aslinya di masa gadis adalah Sri Widojati Notoprodjo. Setelah menikah ia lebih dikenal sebagai Sri Widoyati Wiratmo Soekito. Ia adalah perempuan pertama di kursi hakim agung Republik Indonesia.

Bahkan foto Sri Widoyati yang bisa ditemukan bersumber dari satu-satunya buku berisi pemikiran tertulisnya. Hukumonline mencari ke sana-sini termasuk koleksi dokumentasi Mahkamah Agung (MA). Nihil. Foto itu pun hitam putih saja di balik sampul buku berjudul Anak dan Wanita dalam Hukum. Buku antologi ini terbit tahun 1983 sebagai wujud peringatan setahun wafatnya Sri Widoyati. Isinya adalah 20 tulisan semasa hidup almarhum, baik yang terbit di kolom media massa maupun makalah sebagai narasumber berbagai acara.

Sri Widoyati lahir di Kendal, Jawa Tengah pada 29 September 1929 silam. Umurnya terbilang pendek, wafat pada 20 Februari 1982 saat berobat di Houston, Texas, Amerika Serikat. Ia wafat saat berumur 53 tahun setelah bergulat dengan kanker yang dideritanya sejak tahun 1980. Pemakaman Bergota, Semarang menjadi tempat peristirahatan terakhir jasad Sri Widoyati. 

Baca Juga:

Puja-puji penyusun antologi bukunya menyiratkan sosok Sri Widoyati bukan sembarang orang. Misalnya, almarhum begawan hukum Indonesia, Adnan Buyung Nasution, tidak segan menyebutnya pejuang hukum dan keadilan yang tangguh. “Selamat jalan Yati, selamat jalan pejuang hukum dan keadilan sejati,” kata Adnan Buyung menutup tulisan kenangannya bersama sosok yang akrab ia sapa Yati. Di tahun 1982 itu, Adnan Buyung masih menjabat Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan pernah menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Penelusuran Hukumonline mencatat sebenarnya Sri Widoyati adalah istri dari seorang budayawan tersohor era 1960-an. Suaminya, Wiratmo Soekito cenderung masih dikenang publik sebagai konseptor Manifes Kebudayaan yang menghebohkan era Orde Lama. Wiratmo serta rekan-rekannya kala itu musuh politik kebudayaan Presiden Sukarno yang didukung Lembaga Kebudayaan Rakyat, jaringan Partai Komunis Indonesia.

Nama Wiratmo Soekito dan kisah mengenangnya mudah ditemukan dalam pencarian di jaringan internet. Sayangnya, tidak satu pun kisah soal Sri Widoyati tercatat selain namanya sebagai istri Wiratmo Soekito. Mereka menikah di tahun 1968, tahun yang sama dengan pengangkatan Sri Widoyati sebagai hakim agung.

Jalan Pedang Hakim Pejuang

Tidak ada informasi soal asal-usul Sri Widoyati yang Hukumonline bisa peroleh. Tidak ada orang dekatnya yang bisa ditemukan sejak berita ini ditulis. Berulang kali Hukumonline mengontak Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung. Belum ada arsip yang bisa ditemukan. Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil memastikan hampir tidak ada literatur yang menyebut kisah dan kiprah Sri Widoyati.

Satu-satunya yang Arsil tahu adalah laporan penelitian monumental karya Sebastiaan Pompe. Hasil riset disertasi hukum yang diuji sahih di Universitas Leiden itu sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. “Sri Widoyati hanya disebutkan di buku Pompe,” kata Arsil kepada Hukumonline.

Butuh waktu lama sampai akhirnya Hukumonline menemukan buku Anak dan Wanita dalam Hukum sebagai kepingan informasi lain. Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung bahkan mengaku baru tahu bahwa sejarah pengangkatan Sri Widoyati sebagai hakim agung perempuan pertama lebih dulu dari pengalaman Amerika Serikat. Riset Sebastiaan Pompe mencatat hakim agung perempuan pertama di Amerika Serikat, Sandra Day O’Connor baru diangkat pada 1981 oleh Presiden Ronald Reagan.

“Kami baru mengetahui informasi kalau lebih dulu dari Amerika Serikat,” kata Rizkiansyah, Hakim Yustisial Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung mengonfirmasi. Tampaknya sejarah Sri Widoyati memang tidak dikenang lagi di dalam institusi Mahkamah Agung sendiri.

Seorang pengurus YLBHI bernama Rita pernah mengatakan di tahun kematian Sri Widoyati, “Setahu saya, negara yang memiliki wanita sebagai Hakim Agung hanya Australia, Swedia, dan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat baru tahun 1981, itu pun disertai kehebohan pro dan kontra”.

Seperti apa sebenarnya sosok Sri Widoyati?

Gelar sarjana diperoleh oleh Sri Widoyati dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada April 1955. Hanya dua bulan sejak itu ia sudah diangkat sebagai penjabat hakim Pengadilan Negeri Semarang pada Juni 1955. Ajaibnya, ia berkali-kali pernah merangkap hakim di tiga sampai lima pengadilan sekaligus.

Sejarah mencatat ia pernah merangkap hakim di Pengadilan Negeri Semarang, Demak, Kendal, Purwodadi, dan Salatiga antara Oktober 1955 sampai April 1961. Selanjutnya, ia bertugas hakim di tiga pengadilan tingkat pertama sekaligus yaitu di Kudus, Jepara, dan Semarang pada tahun 1961-1962. “Ia lalu mengisahkan bagaimana mesti menempuh jarak beberapa puluh kilometer tiap hari untuk menjalankan tugasnya di tiga pengadilan itu,” tulis Chairunnisa Jafizham, advokat yang mengagumi Sri Widoyati dalam antologi.

Kala itu jumlah hakim jauh lebih sedikit, apalagi hakim perempuan. Entah bagaimana Sri Widoyati menyanggupi hidup sebagai hakim dengan cara begitu. Setidaknya Chairunnisa mencatat kutipan ucapan langsung dari Sri Widoyati yang berkesan baginya, “Sebenarnya yang jadi hakim itu mestilah orang yang punya panggilan. Gaji hakim yang kecil tidak perlu dikeluhkan kalau seseorang itu menjadi hakim untuk memenuhi panggilannya”.

Hukumonline.com

Sri Widoyati sudah dipercaya menjabat Ketua Pengadilan Negeri Kudus merangkap Ketua Pengadilan Negeri Jepara dan juga hakim di Pengadilan Negeri Semarang pada April 1961 sampai September 1962. Kariernya menanjak saat September 1962 dipromosikan sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Jakarta sampai Februari 1968. Lalu, sejak Februari 1968 sampai akhir hayatnya Sri Widoyati menjadi Hakim Agung, pertama, dan satu-satunya perempuan kala itu.

Nani Yamin, Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK) mengenang pesan sahabatnya itu. “Hendaknya para penegak hukum wanita menjadi contoh dan pelopor perjuangan untuk menegakkan hukum serta mewajibkan diri untuk mengabdi kepada demokratisasi negaranya,” kata Nani mengutip ucapan Sri Widoyati. Pesan itu ia terima saat lembaga yang dipimpinnya mengadakan diskusi panel memperingati hari Kartini.

“Sampai kini kata-kata itu tidak dapat kami lupakan dan masih tetap terngiang di telinga kami,” kata Nani. LKBHuWK yang dipimpin Nani ini salah satu pemrakarsa penerbitan antologi Anak dan Wanita dalam Hukum untuk mengenang setahun wafatnya Sri Widoyati. Buku itu kemudian diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Selama berkarier di Jakarta Sri Widoyati aktif dalam berbagai organisasi kesarjanaan dan profesi. Ia menjadi anggota pimpinan Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI) Pusat tahun 1963-1964 dan juga Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI). Ia lalu menjabat Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) cabang Jakarta Raya tahun 1966-1967 dan Ketua Sekretariat Bersama Pengabdi Hukum tahun 1967-1971.

“Aku kenal dikau pertama kalinya di saat-saat bangsa dan negara ini masih dalam keadaan bahaya. Waktu itu, Februari 1966…kau bicara begitu lantang dan berani dalam mengupas dan membeberkan situasi kebobrokan negara yang kita hadapi di bidang hukum dan peradilan,” kata Adnan Buyung dalam tulisan kenangannya di tahun kematian Sri Widoyati. Adnan Buyung memuji keberanian Sri Widoyati terlibat dalam rapat-rapat pergerakan tersembunyi kalangan sarjana dan profesi hukum.

Atmakusumah Astraatmadja, jurnalis kenamaan yang menyunting buku antologi Sri Widoyati, menjelaskan sosoknya yang melawan tirani Orde Lama. “Selaku Ketua IKAHI Jakarta Raya ia bersama pimpinan IKAHI Pusat memperjuangkan kehidupan konstitusional sesuai dengan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,” kata Atmakusumah.

Ada perkataan Sri Widoyati yang tercatat dalam tulisannya berjudul Kekuasaan, Hukum, dan Keadilan Masyarakat menguatkan pendapat Atmakusumah. “Seharusnya antara kekuasaan dan hukum wajib ada hubungan timbal balik. Kekuasaan timbul karena hukum, sedangkan hukum bersumber pada rasa keadilan masyarakat, maka kekuasaan dapat memelihara tertib masyarakat dengan cara yang adil pula,” tulis Sri Widoyati.

Adnan Buyung juga menyebut sosok Yati sebagai perintis gagasan LBH. Sri Widoyati lebih dulu pernah memimpin organisasi Pengabdi Hukum yang isinya relawan dari polisi, jaksa, advokat, dan hakim. Perannya serupa konsep bantuan hukum yang dilakukan oleh relawan lintas profesi hukum.

Sebastiaan Pompe, peneliti asal Belanda merujuk informasi dari koleganya peneliti asal Amerika Daniel Saul Lev menyebut sosok Sri Widoyati berpegang teguh pada hukum dan keadilan. Keduanya mengonfirmasi keberanian Sri Widoyati. Ia tidak ragu menentang Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro yang menyampaikan titipan vonis dari Presiden Soekarno.

Pompe mencatat bagaimana Sri Widoyati tidak goyah saat dosennya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu membujuknya, bahkan dengan surat Instruksi Presiden. “Dari segi apapun adalah perempuan luar biasa, yang pada 1970-an gigih mempertahankan integritas moralnya pada saat seluruh Mahkamah Agung kandas,” kata Pompe.

Namun, di laporan riset yang sama Pompe mencatat informasi betapa Sri Widoyati adalah manusia biasa. Ia berhasil mendapat penuturan secara pribadi dari orang yang dekat dengan Sri Widoyati. “Sri tergoda untuk melakukan korupsi, tetapi ia tidak berani… Sehingga ia ingin kaya dan menanggung kemiskinan bukan demi dirinya, melainkan demi kedudukan dan peran Mahkamah Agung,” kata sumber Pompe di tahun 1994.

Menentang Sang Profesor dan Ketua

Ada dua kasus yang penting tercatat melibatkan Sri Widoyati. Misalnya tentang intervensi pemerintah di masa diktator Demokrasi Terpimpin Orde Lama. Pompe mencatat rincian beberapa insiden intervensi pemerintah terhadap Mahkamah Agung dalam menangani perkara. Salah satu yang disebut melibatkan Sri Widoyati. Kasus Cosmas terjadi tahun 1962, saat ia masih menjabat hakim pengadilan negeri. Bisa dikatakan ini adalah salah satu bukti kegigihan Sri Widoyati menjaga integritas hakim.

Kasusnya adalah penyelundupan, tetapi Presiden Soekarno ingin agar diadili sebagai kasus subversi. Tujuannya agar bisa menjatuhkan hukuman mati melalui vonis hakim. Pompe yang merujuk informasi Daniel Saul Lev mencatat bagaimana Soekarno menitip vonis mati lewat Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro. Sri Widoyati sebagai hakim yang menangani perkara menolak itu. Ia tidak mau memutus penyelundupan sebagai kasus subversi apalagi menjatuhkan pidana mati.

Konon Wirjono berkeras bahkan membujuk Sri Widoyati. “Wirjono berkeras seraya menyebutkan tekanan yang menghimpitnya, memohon-mohon kepada Sri Widoyati, sambil mengatakan bahwa ia adalah mahasiswa kesayangannya sewaktu kuliah, bahkan sampai menangis,” kata Pompe mengutip catatan Daniel Saul Lev.

Sri Widoyati mencoba mengelak dengan meminta surat Instruksi Presiden yang memerintahkan demikian sebagai alasan. Ia tidak membayangkan Presiden akan berani mengirim surat kepadanya berisi permintaan untuk menjatuhkan hukuman mati. “Di luar dugaannya, Wirjono muncul keesokan harinya dengan surat dimaksud,” kata Pompe lagi.

Sri Widoyati tetap teguh tidak mau memutus perkara itu dengan titipan vonis dari Presiden Soekarno. Ia minta kasus Cosmas diserahkan kepada hakim lain. Akhirnya kasus itu sungguh dijatuhi vonis mati oleh hakim lain. Namun, upaya banding dilakukan. Akhirnya ketika upaya hukum terus berlangsung sampai Mahkamah Agung, era diktator Demokrasi Terpimpin sudah ambruk.

Kasus kedua yang melibatkanya adalah Putusan Mahkamah Agung No.679 K/Sip/1968. Putusan kasasi ini dijatuhkan pada 25 September 1969 dan ditetapkan sebagai yurisprudensi hukum adat. Kaidah yurisprudensi yang terbentuk adalah anak angkat pewaris berhak atas barang gawan yang diperoleh dari usahanya pewaris sendiri dan tidak perlu dibagi dengan ahli waris ke samping. Kasus hukum adat ini berasal dari Pengadilan Negeri Temanggung antara Ahli waris dari almarhum Hardjohudojo nk. Dulah Si'In melawan R. Prawoto. Sri Widoyati bertindak sebagai hakim anggota yang ikut menentukan terbentuknya yurisprudensi itu.

Kiprah lain Sri Widoyati adalah ikut merumuskan atau setidaknya memberikan saran perbaikan sejumlah rancangan undang-undang. Atmakasumah mencatat antara lain UU Hak Cipta, UU Perkawinan, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Peradilan Anak, dan UU Peradilan Tata Usaha Negara.

Ia tercatat ikut pula mendirikan Universitas Semarang pada tahun 1956 bersama beberapa sarjana lainnya saat berdinas di Semarang. Kampus itu kemudian berganti nama menjadi Universitas Diponegoro. Sri Widoyati mengisi kuliah hukum perdata internasional kala itu. Ia juga gemar terus belajar sampai mengikuti pendidikan pascasarjana di School of Sociology, University of California Los Angeles. Saat itu ia melakukan penelitian lapangan masalah kenakalan anak-anak dan remaja pada 1958-1959 di Amerika Serikat.

Masih puja-puji dalam buku antologi Sri Widoyati, entah bagaimana Adnan Buyung menulis demikian dalam salah satu bagian di sana, “Kejujurannya tidak ada tandingannya di antara para hakim… Saya ingin bicara jujur, tanpa Widoyati saya tidak akan seberhasil dan sekuat sekarang dalam bidang hukum”.

Tidak Ada Pengaturan Khusus Hakim Perempuan

Hampir saja Sri Widoyati menjadi Ketua Mahkamah Agung menggantikan Prof. R. Subekti. Namun, pencalonannya kandas secara misterius. Pompe dalam risetnya menduga ada keterlibatan rezim militer Orde Baru. “…pencalonannya dikandaskan ketika tentara mengendusnya dan melancarkan kampanye bisik-bisik,” kata Pompe.

Kiprah Sri Widoyati sebagai hakim agung perempuan pertama terlihat menyimpan teladan. Bagaimana kondisi keterlibatan hakim perempuan hari ini di peradilan hingga kursi Mahkamah Agung?

Hukumonline mencatat jabatan tertinggi yang bisa dicapai hakim perempuan adalah Wakil Ketua Mahkamah Agung. Mariana Sutadi Nasution menduduki kursi Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial selama periode 2004-2008 saat Ketua Mahkamah Agung dijabat Prof. Bagir Manan.

“Seluruh proses calon hakim dan hakim agung tidak membatasi atau khusus spesifik keterwakilan perempuan. Mereka terpilih karena kemampuannya diantara para pendaftar,” kata Rizkiansyah dari Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung.

Juru Bicara Komisi Yudisial, Miko Susanto Ginting menjelaskan hal yang sama. “Tidak ada kebijakan atau standar tertulis. Namun, sepanjang saya di KY dari pertengahan 2021, kebijakan afirmasi berbasis gender selalu jadi pertimbangan,” kata Miko dalam keterangan tertulisnya kepada Hukumonline. Hasilnya, selalu ada calon hakim agung perempuan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat oleh Komisi Yudisial. Miko memastikan hal yang sama dengan Rizkiansyah bahwa hakim agung perempuan yang terpilih lewat prosedur di Komisi Yudisial adalah kandidat terbaik dari pendaftar.

Peneliti Senior LeIP lainnya, Dian Rositawati menjelaskan saat ini ada tujuh hakim agung perempuan yang masih menjabat. Angka ini ia anggap jauh lebih baik dibandingkan Mahkamah Konstitusi yang hanya punya satu hakim perempuan yang menjabat.

“Secara kuantitatif jumlah hakim perempuan masih kurang dari 30% atau tepatnya 28,81 %, sehingga menyebabkan tingkat kemungkinan perempuan menjadi hakim agung juga pasti lebih kecil daripada hakim laki-laki,” kata perempuan yang akrab disapa Tita ini.

Persoalan lain adalah faktor sosial soal peran perempuan sebagai Ibu yang berisi sejumlah tuntutan sosial. Ia menilai persepsi masyarakat tentang peran perempuan sebagai Ibu terkadang memberikan beban lebih besar dalam mengelola keluarga. Akibatnya, seringkali para hakim perempuan lebih memilih untuk tidak mengejar karier demi bisa menyeimbangkan pekerjaan dan tanggung jawab domestik. Apalagi, kebijakan promosi dan mutasi hakim mengharuskan perpindahan lokasi tugas dinas setiap 2-3 tahun dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya.

“Perlu di-review kebijakan yang bisa menghambat kepemimpinan hakim perempuan, sehingga memberikan insentif dan peluang pada hakim perempuan menaiki posisi pimpinan pengadilan maupun menjadi hakim agung,” usul Tita

Tita menegaskan pentingnya keterwakilan perempuan di kursi hakim agung. Hal itu karena perkara yang masuk ke pengadilan sangat beragam disebabkan keragaman dalam masyarakat sendiri. Keragaman tersebut seharusnya direspon dalam komposisi hakim agung atau hakim di pengadilan.

“Tentu ini bukan satu-satunya cara, hakim baik laki-laki maupun perempuan, di semua tingkatan peradilan perlu memahami perspektif gender dalam memeriksa dan memutus perkara,” lanjutnya.

Ia setuju jika Komisi Yudisial mengatur upaya pengarusutamaan keberimbangan gender di posisi hakim agung. Namun, Tita mewanti-wanti perspektif gender dalam komposisi hakim agung tidak boleh mengalahkan aspek kualitas dan integritas. Persyaratan kualitas dan integritas juga perlu dipertimbangkan. “Bukan hanya melihat dari pertimbangan gender belaka. Jadi semua komponen tersebut harus diterapkan secara berimbang,” katanya.

Menarik dicatat kenangan Chairunnisa Jafizham, advokat yang mengagumi Sri Widoyati dalam antologi. Chairunnisa mengatakan isi pernyataan Sri Widoyati, “Ia berpendapat, suatu hal yang keterlaluan seandainya hakim wanita dapat disogok. Wanita, menurut Hakim Agung ini, biasanya lebih bermoral”.

Tags:

Berita Terkait