ICJR : Memperluas Pidana Kesusilaan Potensial Over Kriminalisasi
Berita

ICJR : Memperluas Pidana Kesusilaan Potensial Over Kriminalisasi

Perluasan perbuatan-perbuatan terkait tindak pidana kesusilaan yang dapat dipidana akan berimplikasi banyak pekerjaan rumah bagi negara.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Foto: www.icjr.or.id
Foto: www.icjr.or.id
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) secara resmi  telah mengajukan diri sebagai pihak terkait tidak langsung sidang pengujian Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (pemerkosaan), dan Pasal 292 (pencabulan homoseksual) dalam KUHP di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 12 Agustus 2016 lalu. ICJR meminta agar permohonan terhadap revisi pasal-pasal kesusilaan tersebut tidak dikabulkan.

“Apabila permohonan ini dikabulkan MK khususnya terkait Pasal 284 (perzinaan) dan Pasal 292 (homoseksual) KUHP dengan memperluas tindak pidana kesusilaan potensial krisis kelebihan (over) kriminalisasi (the crisis of over criminalization),” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono saat dihubungi, Sabtu (27/8).

Menurutnya, perluasan perbuatan-perbuatan terkait tindak pidana kesusilaan yang dapat dipidana akan berimplikasi banyak pekerjaan rumah bagi negara. Pertama, tingginya angka penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. “Ini akan berimbas langsung kepada kewajiban negara terkait kebijakan penal, memperbanyak fasilitas dalam proses pengadilan, penegakan hukum, dan penyediaan lembaga pemasyarakatan (Lapas),” kata Supriyadi.  

Kedua, lanjutnya, kondisi ini bisa berakibat berubahnya prioritas kebijakan kriminal Indonesia. Prioritas pemerintah akan terpecah ketika memerangi kejahatan yang menjadi prioritas misalnya korupsi, gembong narkotika, terorisme dan kejahatan terorganisir lain. Padahal, saat ini saja Indonesia sudah kewalahan menghadapi jenis-jenis kejahatan tersebut.

“Fokus ini akan terpecah dengan adanya pekerjaan tambahan negara mengurusi pasal-pasal kesusilaan yang sesungguhnya bukan prioritas negara saat ini,” tegasnya.

Ketiga, kebijakan pidana yang ingin memperluas tindak pidana kesusilaan bisa berakibat negara akan masuk terlalu jauh mengontrol hak yang sangat privasi warga negara. Negara akan sangat mudah mencampuradukkan persoalan yang bersifat privat dan personal dengan urusan yang bersifat publik. Hal ini justru mengingkari kedudukan hukum pidana sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah hukum (ultimum remedium).

“Kata lain, tidak ada lagi penghormatan hak privasi warga negara karena atas nama hukum pidana, negara akan sangat bebas mencampuri urusan privat warga negaranya. Polisi akan semakin represif dan masuk ke ranah privat warga negara,” kata dia.

Keempat, asumsi negara menjamin rasa aman, menjaga tingkat kepatuhan hukum, dan mengendalikan tingkat kriminalitas akan berbenturan dengan kemampuan terbatas yang dimiliki negara. Alhasil, masyarakat justru menilai negara tidak mempu menjalankan fungsi dan tugasnya.

“Hal terburuk akan ada ‘main hakim sendiri’ dari warga negara akibat ketidakpercayaan publik dikarenakan terbatasnya kemampuan negara menangani banyaknya kasus pidana,” tutupnya. (Baca Juga: Pengakuan LGBT Tergantung Nilai Partikular Negara)

Seperti diketahui, MK tengah mengadili pengujian Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang diajukan Guru Besar IPB Bogor Prof Euis Sunarti, dkk. Hingga sidang keenam, Selasa (23/8) kemarin, Para Pemohon telah menghadirkan beberapa ahli guna memperkuat dalil permohonan. Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex). Sebab, secara a contrario  Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).

Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.

Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan transgender, LGBT).

Tags:

Berita Terkait