ICJR Apresiasi Usulan Penanganan Khusus Narapidana Lansia, Tapi….
Berita

ICJR Apresiasi Usulan Penanganan Khusus Narapidana Lansia, Tapi….

Seharusnya pemerintah mesti memprioritaskan pembenahan masalah kelebihan populasi rutan dan lapas, infrastruktur, dan pemenuhan hak-hak tahanan dan narapidana terlebih dahulu.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dia mengakui kebutuhan tahanan dan narapidana lansia tentu berbeda dengan tahanan dan narapidana dalam usia produktif, selayaknya perbedaan kebutuhan yang dimiliki antara tahanan dan narapidana biasa dengan tahanan dan narapidana perempuan ataupun anak-anak.

 

Tiga masalah pemasyarakatan

Namun, pemeritah tidak boleh menutup mata atau menghindar untuk menyelesaikan beberapa permasalan lain yang sudah menahun di pemasyarakatan. Pertama, masalah overcrowding atau kelebihan populasi (over kapasitas) dalam rutan dan lapas seluruh Indonesia. Dalam kurun waktu 2013-2017, persentase overcrowding terus meningkat. Misalnya, overcrowding di 2013 mencapai angka 143 persen; 142 persen di 2012; 147 persen di 2015; 170 persen di 2016; dan 188 persen di 2017.

 

“ICJR tidak henti-hentinya mengingatkan pemerintah terkait kondisi overcrowding yang sudah berada dalam status extreme overcrowding. Dari data yang dihimpun ICJR hingga September 2018 jumlah penghuni rutan dan lapas sebanyak 248.340 dari kapasitas total sebanyak 125.159. (Baca Juga: Berharap Ada Standar Penanganan Khusus Narapidana Lansia)

 

Kedua, masalah pembenahan infrastruktur. Anggara mengingatkan Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan mengamanatkan lapas dan balai pemasyarakatan (bapas) didirikan di setiap kabupaten atau kota. Namun, sudah 23 tahun sejak UU Pemasyarakat itu berlaku, pemerintah masih belum mampu mendirikan lapas dan bapas di setiap kabupaten dan kota. Misalnya, di Kabupaten Seruyan, Murungraya, dan Pulangpisau, Kalimantan Tengah, hingga saat ini belum terdapat fasilitas Lapas.

 

Tak hanya itu, infrastruktur lain yang masih minim saat ini adalah Lapas Perempuan, yang hanya tersedia di beberapa kota besar, seperti Malang, Jawa Timur. Akibatnya, kata anggara, seringkali tahanan atau narapidana perempuan tidak dipisahkan dengan laki-laki penempatannya secara lokasi. Namun hanya ditempatkan di gedung yang terpisah saja.

 

“Masalah lain terkait infrastruktur, minimnya ketersediaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Misalnya, di Kanwil Kemenkumham Aceh, hanya terdapat 1 LPKA yakni LPKA Banda Aceh. Jawa Timur, hanya memiliki 1  LPKA, yakni LPKA Kelas I Blitar,” bebernya.

 

Ketiga, masalah pemenuhan hak-hak tahanan dan narapidana yang tercantum dalam “Nelson Mandela Rules” yang mengatur standar minimum perlakuan terhadap tahanan dan narapidana. Hingga saat ini, tidak ada kejelasan mengenai pemenuhan kebutuhan hak-hak tahanan dan narapidana sesuai “Nelson Mandela Rules” itu. Ini disebabkan kondisi overcrowding yang terjadi hampir seluruh rutan dan lapas di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait