ICW: RUU Cipta Kerja Lemahkan Penegakan Hukum Sektor Perizinan
Berita

ICW: RUU Cipta Kerja Lemahkan Penegakan Hukum Sektor Perizinan

Karena RUU Cipta Kerja melemahkan unsur “melawan hukum” dalam proses perizinan dan investasi, sehingga bakal menyulitkan aparat penegak hukum melakukan pembuktian.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
ICW. Foto: RES
ICW. Foto: RES

Belum lama ini, pemerintah telah menyampaikan draf RUU Cipta Kerja ke DPR. RUU Cipta Kerja ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal, 79 UU dengan 1.203 pasal yang terdampak. Beragam kritikan elemen masyarakat kembali bermunculan mengenai materi muatan RUU Cipta Kerja yang dinilai bermasalah terutama di sektor perizinan berusaha yang selama ini disinyalir diwarnai praktik koruptif.      

 

Kepala Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Tama Satya Langkun mengatakan kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan sektor swasta relatif tinggi. ICW mencatat sepanjang tahun 2019 terdapat 580 tersangka korupsi. Aktor paling banyak berasal dari kalangan ASN (213 orang); swasta (149 orang); kepala desa (45 orang); dan dirut/staf BUMN (26 orang). Jumlah kasus korupsi yang ditindak mencapai 271 kasus dengan jumlah kerugian negara mencapai Rp8,4 triliun.

 

Modus korupsi paling banyak tahun 2019 yakni suap (51 kasus), mark up (41 kasus), penyalahgunaan anggaran (39 kasus), penggelapan (35 kasus), dan penyalahgunaan wewenang (30 kasus). Modus penyalahgunaan wewenang misalnya kasus korupsi penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) kabupaten Kotawaringin Timur yang melibatkan Bupati dan merugikan negara Rp5,8 triliun.

 

“Tingginya kasus korupsi yang melibatkan aktor swasta dan ASN harus menjadi perhatian serius pemerintah,” ujar Tama Satya Langkun di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (19/2/2020). Baca Juga: RUU Cipta Kerja Dinilai Lemahkan Perlindungan Lingkungan Hidup

 

Selaras dengan fakta itu, ironisnya melalui omnibus law RUU Cipta Kerja, pemerintah memberi “karpet merah” bagi investor demi meningkatkan investasi dan kemudahan berusaha yang diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja dengan menghapus/mengubah ketentuan pasal dalam 79 UU yang berlaku. Namun, alih-alih ketentuan yang diubah/dihapus itu semakin kuat, justru semakin lemah atau bahkan dihapus/dihilangkan. Salah satunya, pemerintah memangkas regulasi dan prosedur perizinan di sektor lingkungan dalam RUU Cipta Kerja.

 

Misalnya, pemerintah menghapus “izin lingkungan” seperti diatur UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup (UU PPLH). Padahal, izin lingkungan ini untuk memperkuat syarat analisis dampak lingkungan (amdal). Namun, dalam RUU Cipta Kerja diubah menjadi “persetujuan lingkungan” melalui penerapan standar/pendaftaran dan berbasis risiko. Hanya kegiatan/pendirian usaha yang beresiko tinggi yang harus menggunakan mekanisme perizinan.

 

Seperti diketahui, izin lingkungan dan amdal merupakan syarat yang harus dipenuhi pemodal untuk mendapat izin memulai kegiatan usaha. Jika kegiatan usaha yang dilakukan ternyata mengakibatkan kerusakan/kebakaran hutan/lahan, aparat penegak hukum bisa melakukan penegakan hukum lingkungan. Salah satu proses yang dilakukan aparat penegak hukum melalui penyelidikan dan penyidikan dengan mencari bukti-bukti dugaan tindak pidana di sektor lingkungan hidup.   

Tags:

Berita Terkait