Extra Judicial Killing Berulang karena Penegakan Hukum Tak Berjalan
Berita

Extra Judicial Killing Berulang karena Penegakan Hukum Tak Berjalan

Ada hambatan dalam proses pembuktian di tingkat penyelidikan. Ada belasan bentuk obstruction of justice.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi extra judicial killing
Ilustrasi extra judicial killing

Jumlah pembunuhan di luar proses pengadilan (extra judicial killing), yang juga sering disebut unlawfull killing, mengalami penurunan pada tahun 2020. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan LBH jaringannya di seluruh Indonesia mencatat ada 44 kasus extra judicial killing (EJK) dengan 46 korban. Setahun sebelumnya tercatat 21 kasus dengan 77 korban, dan lebih banyak korban lagi pada 2018, takni 182 korban jiwa dalam 151 kasus. Jadi, sepanjang periode 2018-2020 sediitnya ditemukan 241 kasus EJK dengan korban 305 jiwa.

Wakil Ketua Badan Pengurus YLBHI, Era Purnama Sari, mengakui situasi pandemi Covid-19 ikut mempengaruhi menurunnya jumlah EJK. “Namun bukan berarti tidak banyak extra judicial killing,” kata Era dalam diskusi diseminasi temuan pembunuhan sewenang-weang dalam penegakan hukum, Minggu (21/2/2021). Salah satu temuan yang menarik adalah relasi EJK dengan pembatasan kebebasan berekspresi, berpendapat dan berserikat. Ini bisa terlihat pada kasus penembakan warga negara yang berdemonstrasi menentang perubahan UU KPK, KUHP dan RUU Cipta Kerja.

YLBHI dan jaringan LBH se-Indonesia telah mengadvokasi banyak kasus EJK dan melakukan pemantauan peristiwa pembunuhan sewenang-wenang. Tidak hanya jumlah kasus dan korban jiwa, YLBHI juga mencatat bahwa proses penegakan hukum terhadap pelaku pembunuhan sewenang-wenang itu tak berjalan secara efektif dan adil. Era menunjukkan hanya 9 persen dari kasus itu ditangani dan diproses hingga ada vonis hakim. Tidak jauh beda, sekitar 10 persen kasus ada tersangkanya tetapi kelanjutan prosesnya tidak diketahui. Dengan kata lain, sebagian besar kasus EJK tak diproses hingga ke pengadilan. Lebih dari 80 persen kasus EJK ‘hilang’. Menurut Era, hilang di sini bermakna proses hukumnya tidak jelas, apakah ada penetapan tersangka, apakah ada proses penyelidikan, atau dihentikan proses penegakan hukumnya.

(Baca juga: Mengenali Istilah Extra Judicial Killing dalam Perspektif HAM).

Selama sepuluh tahun terakhir, YLBHI/LBH telah mendamping langsung 25 kasus EJK. Dari kasus ini pun dapat diketahui minimnya penegakan hukum terhadap orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan. “Hanya ada tiga yang diadili dari 25 kasus, sisanya tidak ada kejelasan proses hukum,” papar Era.

Hambatan penegakan hukum

Proses penegakan hukum terhadap pelaku pembunuhan sewenang-sewenang dipengaruhi banyak faktor. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, menyebut kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti. Misalnya, untuk mendapatkan bukti bahwa orang yang tertembak karena diduga pelaku tindak pidana terorisme. Menurut dia, tidak mudah membuktikan dan melawan narasi bahwa korban merupakan seorang teroris dan melakukan perlawanan ketika akan ditangkap.

Berdasarkan pengalaman dan pengamat Komnas HAM selama ini, tidak mudah melakukan penyelidikan dan mendapatkan bukti-bukti untuk meng-counter narasi yang dibangun oleh pelaku penembakan, apalagi oleh aparat penegak hukum. “Penyelidikannya tidak mudah,’ ujarnya.

Itu pula sebabnya, kata Taufan, Komnas HAM berfokus pada pembenahan sistem dan standar operasi di lapangan. Sekadar contoh, sudah ada Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkap ini sudah mengatur langkah-langkah apa yang harus dilakukan aparat Polri untuk menghormati hak asasi manusia. Tetapi standar operasinya belum detil sehingga ada pelanggaran di lapangan. Ia menyarankan implementasi prinsip-prinsip hak asasi manusia diperkuat terlebih dahulu melalui pelatihan-pelatihan simulatif, merespons beragam kondisi yang terjadi di lapangan.

Tags:

Berita Terkait