Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas Permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Bahkan selain pejabat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim, ternyata pejabat pajak juga dapat langsung melakukan pemblokiran terhadap rekening seorang nasabah bank. Dan ternyata pula hal tersebut telah diperbolehkan sejak tahun 1997 dengan adanya UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Pajak, yang sekarang telah diubah dalam UU No. 19 Tahun 2000.
Dalam Pasal 17 UU No. 19 Tahun 1999, disebutkan bahwa pemblokiran dapat dilakukan dalam rangka fiscus melakukan penyitaan apabila penanggung pajak dalam jangka waktu yang telah diberikan, tidak melunasi pajak terutangnya.
Penyitaan tersebut dapat dilaksanakan terhadap milik penanggung pajak berupa barang bergerak, termasuk deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu dilakukan dengan pemblokiran terlebih dahulu.
Tanpa persetujuan BI
Menurut Deputi Direktur Direktorat Hukum BI, Yunus Hussein, pemblokiran terhadap rekening nasabah bank yang sedang diperiksa atau diusut oleh fiscus karena dicurigai tidak benar, dapat dilakukan terlebih dahulu tanpa meminta persetujuan dari Bank Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar saldo dalam rekening tersebut tidak dipindahkan oleh penanggung pajak.
Setelah dilakukan pemblokiran,`barulah fiscus meminta surat kuasa dari penanggung pajak untuk mengetahui isi rekening tersebut. Jika penanggung pajak tidak mau memberikan surat kuasa kepada fiscus, maka fiscus dapat meminta persetujuan kepada Bank Indonesia.
"Memang agak lama untuk sampai mendapat persetujuan dari BI karena ada proses-prosesnya, tapi kan yang penting rekeningnya sudah diblokir lebih dulu, jadi aman," ujar Yunus.
Kewenangan penegak Hukum
Kewenangan untuk memblokir rekening pada dasarnya memang bukan kewenangan Bank Indonesia. Pemblokiran dapat pula sebagai salah satu bentuk penyitaan. KUHAP sebenarnya telah mengatur mengenai siapa yang berwenang untuk melakukan penyitaan, yaitu dalam Pasal 38 ayat (1). Pasal tersebut menyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
Selanjutnya dalam Pasal 42 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita untuk menyerahkan benda tersebut kepada penyidik demi kepentingan pemeriksaan, dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberi surat tanda penerimaan.
Namun, jika benda yang akan disita tersebut berupa surat atau tulisan yang menurut undang-undang wajib dijaga kerahasiaannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, maka penyitaan hanya dapat dilakukan dengan seizin atau persetujuan yang mereka yang menguasai surat atau tulisan tersebut; atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri (PN) setempat, kecuali jika undang-undang menentukan lain.
Contoh konkret dari masalah pemblokiran adalah ketika Kejaksaan Agung meminta BI untuk melakukan pemblokiran terhadap rekening milik Tommy Soeharto. Sebagai lembaga yang bertugas melakukan eksekusi, seharusnya Kejaksaan Agung dapat dengan segera meminta kepada bank-bank agar melakukan pemblokiran terhadap rekening milik Tommy. Bahkan, ketika Tommy masih dalam penyidikan.
Kejaksaan Agung tidak usah terlebih dulu minta izin dari BI. Pada kenyataannya, memang permintaan izin Kejaksaan Agung kepada BI menjadi memakan waktu hingga mungkin saja pihak Tommy telah melakukan langkah-langkah antisipasi terhadap rekening-rekeningnya. Walaupun kini bank-bank mengaku telah memblokir rekening milik Tommy di banknya (bila ada), diragukan apakah rekening tersebut masih ada uangnya atau tidak.
Dengan mengacu pada UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000, seharusnya Dirjen pajak tidak usah khawatir lagi dengan penerimaan pajak yang menjadi targetnya sejauh menyangkut rahasia bank. Entah kalau khawatirnya adalah kekhawatiran yang lain.