Imparsial: Penempatan TNI Sebagai Satpam di MA Melanggar UU TNI
Terbaru

Imparsial: Penempatan TNI Sebagai Satpam di MA Melanggar UU TNI

Karena pengamanan hakim MA tidak termasuk tugas pokok dan fungsi TNI sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Pengamanan di lingkungan MA yang rencananya melibatkan TNI dikecam kalangan organisasi masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, menilai kebijakan MA menempatkan TNI dalam satuan pengamanan di MA bermasalah, tidak memiliki urgensi dan berlebihan. Apalagi tujuannya - sebagaimana dikatakan oleh Jubir MA - untuk memberikan kenyamanan bagi Hakim Agung dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti masuknya orang-orang yang tidak jelas atau tidak layak masuk di kantor MA.

“Sangat berlebihan menggunakan prajurit TNI untuk melayani hakim MA dan bahkan memilah mana tamu yang layak atau yang tidak layak diperbolehkah masuk gedung MA. Sudah jauh lebih tepat apabila MA mengandalkan Satpam atau jika ada ancaman yang dihadapi oleh Hakim Agung, MA dapat meminta Polri untuk memperkuat keamanan di lingkungan MA,” kata Gufron dikonfirmasi, Kamis (10/11/2022).

Gufron menegaskan pengamanan hakim MA bukan tugas pokok dan fungsi TNI sebagaimana diatur pasal 6 dan Pasal 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurutnya, jika pelibatan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA dijalankan dalam rangka tugas pokok terkait operasi militer selain perang, seharusnya hal tersebut didasarkan pada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat 3 UU TNI), bukan keputusan MA.

Keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah dan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR (Penjelasan Pasal 5 UU TNI). Dengan demikian, kebijakan MA untuk melibatkan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA bertentangan dengan UU TNI dan mengganggu profesionalitas TNI karena menarik jauh TNI ke dalam tugas-tugas sipil di luar tugas pokok dan fungsinya.

Gufron menilai penggunaan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan tak lebih dari upaya MA untuk menutupi berbagai kelemahannya selama ini. Penggunaan TNI sebagai satpam hanya untuk memberikan kesan gagah terhadap MA yang selama ini lemah dan gagal dalam mereformasi institusinya. Lebih dari itu, yang dikhawatirkan dari pelibatan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan adanya potensi penyalahgunaan prajurit TNI untuk membentengi diri dari penegakan hukum yang mungkin dilakukan, misalnya oleh Polri ataupun lembaga lain seperti KPK.

Perlu diingat bahwa kebijakan pengamanan MA oleh TNI tidak lama berselang setelah adanya operasi tangkap tangan terhadap salah satu hakim MA. Panglima TNI harus tegas dan konsisten menempatkan TNI dalam posisinya sebagai prajurit sesuai dengan mandat UU TNI dengan tidak memenuhi permintaan MA.

MA harusnya fokus pada tuntutan publik menyelesaikan reformasi peradilan yang selama ini jalan ditempat. Alih-alih menggunakan TNI sebagai satuan pengamanan MA, hal penting yang perlu dilakukan yakni menjalankan tuntutan reformasi peradilan yang selama ini tidak berjalan, seperti pemberantasan korupsi dan pembenahan internal lainnya untuk menguatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat. Selain itu, dalam konteks reformasi peradilan militer sangat penting bagi MA untuk segera memberikan masukan dan dorongan bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Peradilan militer.

Gufron menekankan reformasi peradilan militer mandat UU No.34 Tahun 2004. Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 menyebut “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

Ia juga mengingatkan upaya mewujudkan reformasi peradilan militer adalah kewajiban konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan parlemen. Upaya mengubah peradilan militer merupakan langkah konstitusional untuk menerapkan prinsip persamaan di hadapan hukum secara konsisten {pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28 Huruf d ayat (1) UUD 1945}. Konsekuensi dari penerapan asas hukum tersebut adalah bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum perlu diadili dalam peradilan yang sama dengan warga negara lain yang melakukan tindak pidana umum yakni melalui mekanisme peradilan umum.

Karena itu, Imparsial mendesak MA membatalkan rencana menempatkan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA. Panglima TNI harus menolak penempatan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA. MA perlu melakukan langkah efektif guna perbaikan internal dan melanjutkan reformasi peradilan militer dengan memberi masukan dan dorongan bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap beleid tersebut.

Tags:

Berita Terkait