Implementasi Konvensi Pekerja Migran Masih Minim
Berita

Implementasi Konvensi Pekerja Migran Masih Minim

Belum ada perubahan signifikan dalam melindungi TKI.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Implementasi Konvensi Pekerja Migran Masih Minim
Hukumonline

Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai pemerintah masih belum konsekuen menjalankan Konvensi Pekerja Migran. Padahal, Konvensi itu sudah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 2012. Menurut koordinator advokasi Migrant Care, Nur Harsono, pasca ratifikasi, sebenarnya pemerintah wajib melindungi pekerja migran dan keluarganya mulai dari proses pra penempatan, penempatan dan pasca pemulangan.

Menurut Harsono, konvensi itu sudah cukup lengkap mengatur berbagai macam pemenuhan hak yang perlu dilakukan pemerintah untuk pekerja migran. Misalnya, bagaimana mewujudkan pemenuhan hak pekerja migran untuk mendapat pekerjaan yang layak dan hak untuk hidup. “Pemenuhan hak itu harus dilakukan negara,” kata dia dalam diskusi di Jakarta, Kamis (31/1).

Sejauh ini, Harsono melihat pemerintah baru merespon diratifikasinya konvensi itu dengan menerbitkan beberapa kebijakan. Misalnya, Permenakertrans No. 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Kepulangan Tenaga Kerja Indonesia Dari Negara Penempatan Secara Mandiri Ke Daerah Asal (Kepulangan TKI Mandiri). Serta PP No. 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan TKI Di Luar Negeri (Perlindungan TKI). Namun, kedua peraturan itu bagi Harsono belum mencerminkan secara utuh semangat perlindungan TKI sebagaimana amanat konvensi.

Misalnya, Permenakertrans Kepulangan TKI Mandiri. Harsono mengaku awal tahun ini dia mendapat pengaduan dari TKI yang dipersulit ketika mau pulang secara mandiri atau lewat terminal biasa di Bandara Soekarno Hatta. Karena, setibanya di bandara internasional di Jakarta itu, TKI yang bersangkutan dipaksa oleh beberapa orang untuk lewat terminal 4 atau khusus TKI.

Begitu pula dengan PP Perlindungan TKI, Harsono beranggapan peraturan itu masih memandang TKI dengan paradigma lama sebagaimana termaktub dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN). Padahal, UU PPTKLN itu dalam proses revisi karena dianggap tak optimal lindungi TKI. Hal serupa juga dijumpai dalam proses penyampaian informasi kepada TKI. Sampai saat ini, hak untuk mendapat informasi dirasa masih sulit diperoleh TKI. Sehingga, TKI masih rawan terjebak pada mekanisme migrasi yang merugikan. “Pasal 37 konvensi pekerja migran menjamin hak TKI mendapat informasi,” tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, aktivis Solidaritas Perempuan, Dinda Nurannisaa Yura, menjelaskan 72 persen pekerja migran asal Indonesia terdiri dari kaum perempuan. Dari jumlah itu, 92 persen bekerja sebagai pekerja domestik (PRT). Mengingat jumlah perempuan dominan, maka tindak kekerasan yang dialami pekerja migran paling banyak dialami kaum perempuan. Maka sebagai upaya mengoptimalkan dan memaksimalkan perlindungan, wanita yang disapa Nisa itu berpandangan konvensi pekerja migran wajib diselaraskan dengan revisi UU PPTKLN.

Pasalnya, tak sedikit ketentuan yang termaktub dalam UU PPTKLN yang dirasa diskrimintaif terhadap pekerja migran perempuan. Sehingga, hak perempuan untuk bermigrasi terhambat. Misalnya, harus mendapat izin dari wali atau suami jika ingin menjadi pekerja migran. Padahal praktiknya, Nisa menandaskan, terdapat berbagai persoalan untuk memenuhi syarat tersebut. Misalnya, ketika si perempuan sudah bercerai, maka akan kesulitan untuk medapat izin tersebut. “Bermigrasi itu hak setiap orang,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait