Implikasi Delik Korupsi dalam KUHP Baru Tak Lagi Extraordinary Crime
Terbaru

Implikasi Delik Korupsi dalam KUHP Baru Tak Lagi Extraordinary Crime

Konsekuensi hukum lainnya, seluruh ketentuan dalam KUHP Baru dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan berlaku sama dalam setiap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, baik yang dilakukan oleh penyidik Polri, penuntut umum, dan Hakim sekalipun oleh KPK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita. Foto: RES
Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita. Foto: RES

Sedari awal kekhawatiran para pegiat anti korupsi soal ditariknya delik korupsi yang diatur dalam UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kala itu, berdampak terhadap status tindak pidana korupsi yang tak lagi menjadi extraordinary crime. Kekhawatiran itu akhirnya pun terjadi pasca RKUHP disahkan menjadi UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP. Pasalnya implikasi serius pemberlakuan KUHP anyar menjadikan delik  korupsi menjadi kejahatan biasa sepertihalnya delik pencurian maupun penggelapan.

Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita, berpandangan pemberlakuan KUHP anyar berhubungan langsung dengan UU 21/2001. Yakni antara lain meninggalkannya asas lex specialis derogat legi generalis dengan dimasukkannya ke dalam dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rekodifikasi KUHP.

Bagi Prof Romli, pembentukan KUHP baru sejatinya melaksanakan misi dekolonisasi dengan cara melakukan rekodifikasi parsial. Tapi faktanya, dalam formalitasnya terjadi rekodifikasi total. Pasalnya telah terjadi perubahan dari aspek filosofi pemidanaan, ke arah filosofi non-pemidanaan. Dengan kata lain, meninggalkan filosofi penghukuman semata-mata.


Sedangkan kaitannya dengan ditinggalkann asas lex specialis derogat legi generalis, hal tersebut merupakan implikasi atas dicabutnya lima pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001. Yakni Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 13, sebagaimana diatur dalam Pasal 622 ayat (1) huruf l KUHP Baru.

Kepala Badan Pembangunan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Periode 2002-2004 itu menerangkan, saat delik Tipikor tak lagi  menjadi extraordinary crime, melainkan merupakan tindak pidana umum, konsekuensi hukum kondisi tersebut berimplikasi terhadap ada tidaknya lagi kekhususan kewenangan diantara aparat penegak hukum. Seperti instansi penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam menjalankan tugasnya. Sepertihalnya KPK tidak lagi berwenang melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan.

“Konsekuensi hukum lain adalah seluruh ketentuan dalam KUHP Baru dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan berlaku sama dalam setiap proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, baik yang dilakukan oleh Penyidik Polri, Penuntut Umum, dan Hakim sekalipun oleh KPK,” ujarnya dalam Konsinyering bertajuk “Refleksi terhadap Politik Hukum Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi” awal pekan lalu sebagaimana dikutip dari laman BPHN.

Baca juga:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait