Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan Sebagai Saksi Fakta di Sidang Arbitrase
Kolom

Implikasi Hukum Ahli Dihadirkan Sebagai Saksi Fakta di Sidang Arbitrase

Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa tidak memperoleh keadilan.

Bacaan 2 Menit

Namun, ketika laporan yang menjadi pokok persengketaan tidak diverifikasi di persidangan, tidak ada kesempatan pihak lawan untuk melakukan pemeriksaaan silang atas keterangan ahli yang menyusun laporan (atau pendapat ahli pendukung ahli utama) yang isinya menjadi sumber persengketaan dan ahli pendukung tidak dapat berbicara banyak sebab didudukan sebagai saksi fakta, arbiter atau majelis arbitrase tidak patut untuk menafikan keberadaan pendapat ahli yang berbeda dengan isi laporan yang menjadi pokok persengketaan tanpa mengemukakan bantahan yang lengkap dan memiliki dasar yang kuat dalam pertimbangan hukumnya.

Tanpa melakukannya, laporan yang tidak diverifikasi tersebut tidak patut untuk menjadi dasar pengambilan putusan. Keadaan akan menjadi semakin tidak patut apabila argumentasi hukum dan teknis pihak yang dikalahkan tidak dibahas dan dipertentangkan dengan laporan yang menjadi dasar pertimbangan hukum arbiter. Akibatnya, pihak yang dikalahkan juga tidak akan dapat mengerti dasar penolakan sehingga dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi citra arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang adil.

Pertimbangan hukum arbiter yang tidak lengkap dan tidak terstruktur baik mengundang risiko upaya pembatalan dari pihak yang merasa tidak memperoleh keadilan. Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang kalah untuk menuntut keadilan sekiranya merasa pengadil telah lalai sementara arbiter memiliki hak imunitas di bawah pasal 21 No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) dan putusan arbitrase bersifat final and binding?  

Imunitas arbiter akan gugur apabila dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan arbiter atau majelis arbitrase. Meskipun bukan merupakan obyek dari pasal 70 UU Arbitrase, atas dugaan yang terkait langsung substansi yang menjadi dasar timbulnya persengketaan, seyogyanya tersedia pintu untuk melakukan upaya pembatalan ke Pengadilan Negeri. Namun, hal ini akan mengalahkan semangat bahwa arbitrase akan menyelesaikan persengketaan secara imparsial, cepat dan adil sebab para pihak harus memasuki ranah persengketaan panjang yang memerlukan waktu dan dana yang bisa sangat besar. Mungkin sudah waktunya Kode Etik Arbiter pada lembaga arbitrase manapun di Indonesia mengatur pasal untuk mengujinya apabila dalam proses pengambilan putusan arbiter melakukan kelalaian.

*)Dr. Junaedy Ganie, FCBArb, MCIArb, ANZIIF (Fellow), AAIK (HC), CIP, ChFC, CLU, adalah Arbiter Senior.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait