Implikasi Perubahan Regulasi Halal Terhadap Dunia Usaha

Implikasi Perubahan Regulasi Halal Terhadap Dunia Usaha

Setelah UU Cipta Kerja, Pemerintah harus mempersiapkan sejumlah regulasi teknis sertifikasi halal. Jangka waktu proses sertifikasi halal dipangkas. Bagi pelaku UMK berlaku self declare sesuai standar halal.
Implikasi Perubahan Regulasi Halal Terhadap Dunia Usaha

Beruntunglah mereka yang menjadi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) di tengah perubahan regulasi tentang kewajiban sertifikasi halal. Sebab, sesuai UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, produk UMK yang dipasarkan di wilayah Indonesia tak dibebani kewajiban sertifikasi halal yang prosesnya panjang sebagaimana dibebankan kepada pelaku usaha besar. Pasal 48 ayat (1) UU Cipta Kerja menambahkan satu pasal baru, yakni Pasal 4A ke dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Isinya: untuk pelaku UMK kewajiban bersertifikat halal didasarkan atas pernyataan pelaku usaha sendiri yang dilakukan sesuai standar halal yang ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan ini adalah organ yang dibentuk Pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan produk halal.

Norma senada disebutkan lagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Inilah salah satu regulasi turunan UU Cipta Kerja. Pasal 79 ayat (1) PP ini menyebutkan kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku usaha sendiri. Inilah yang kemudian disebut sebagai kebijakan self-declare. Siti Aminah, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal BPJPH, tak menampik masalah self-declare menimbulkan perdebatan. “Ini lumayan panjang pembahasannya,” ujarnya dalam webinar tentang Regulasi Jaminan Produk Halal yang diselenggarakan Hukumonline

Setidaknya ada dua pertanyaan penting yang perlu diajukan: pertama, siapa saja yang masuk kategori UMK dalam konteks ini? Kedua, apa yang dimaksud dengan ‘standar halal’ sebagai acuan penilaian self-declare bagi UMK? Terkait pertanyaan pertama, Indonesia memiliki UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai rujukan. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagai diatur dalam Undang-Undang ini. Adapun usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasi, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil menurut Undang-Undang ini. 

Ternyata, PP No. 39 Tahun 2021 membuat kriteria sendiri. Pelaku UMK adalah usaha produktif yang memiliki kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dengan kriteria (a) produk tidak berisiko atau mengggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalanannya; dan (b) proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana. Pedagang gorengan adalah salah satu contohnya.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional