Indonesia Berniat Ratifikasi Protokol Konvensi Jenewa 1949
Berita

Indonesia Berniat Ratifikasi Protokol Konvensi Jenewa 1949

Ide untuk meratifikasi sudah muncul sejak 1991. Surat Panglima ABRI pada 1995 mengingatkan masih ada isi Protokol I yang kurang sesuai dengan Indonesia.

Oleh:
Mon/Mys
Bacaan 2 Menit

 

Korespondensi ratifikasi

Keinginan meratifikasi Protokol Tambahan I dan II sebenarnya sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Surat Dirjen Politik Departemen Luar Negeri pada akhir Desember 1998 sudah meminta Menteri Hukum dan HAM sebagai Ketua Panitia Tetap Hukum Humaniter untuk menyiapkan naskah ratifikasi.

 

Tetapi sebenarnya, keinginan ratifikasi bisa dilacak hingga 1991 melalui korespondensi antar instansi. Bermula dari tiga kali surat Menteri Kehakiman yang meminta pendapat dan saran dari Menteri Pertahanan dan Keamanan sehubungan dengan rencana ratifikasi itu. Jawaban Menhankam kala itu adalah setuju ratifikasi kedua protokol dengan catatan. Protokol I dapat diratifikasi dengan memberikan deklarasi pada beberapa pasal. Menhankam juga menyarankan agar Indonesia tidak perlu menanggapi persyaratan-persyaratan yang diajukan negara yang sudah meratifikasi.

 

Surat Panglima ABRI pada 1995 semakin mempertegas sikap Cilangkap. Panglima menyarankan agar yang diratifikasi terlebih dahulu adalah Protokol Tambahan II. Alasannya, pada Protokol Tambahan I masih terdapat ‘hal-hal yang kurang sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Sishankamrata'.

 

Sikap Cilangkap itu rupanya berpengaruh pula kepada kebijakan yang ditempuh Menteri Kehakiman kemudian. Buktinya, Surat Keputusan Menteri No. C-52.PR.09.03 tahun 1997 justru hanya membentuk Tim Penyusunan Naskah RUU Ratifikasi Pengesahan Protokol Tambahan II.

 

Belakangan, rencana ratifikasi seolah hilang begitu saja, hingga muncul lagi pada Semiloka Hukum Humaniter Internasional pada Februari 2000. Persoalan utama yang muncul saat itu adalah ketentuang war of national liberation (pasal 1 ayat 4 jo pasal 96 ayat 3). Indonesia juga menganggap Protokol I memberi peluang kepada gerakan separatis dan suku bangsa untuk memisahkan diri dari negaranya. Protokol ini menyebutkan para pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin dihormatinya protokol ‘dalam segala situasi'. Klausul lain menyebutkan, yang dimaksud ‘dalam segala situasi' termasuk pula pertikaian bersenjata antara rakyat yang sedang berperang melawan dominasi kolonial, pendudukan asing, atau pemerintahan rasialis, sebagai penentuan nasib mereka sendiri.

 

Perkembangan terakhir yang diperoleh hukumonline, Dirjen Administrasi Hukum Dephukham  sudah menyurati Dirjen Peraturan Perundang-Undangan pada 16 Agustus lalu, meminta agar rencana ratifikasi itu ditindaklanjuti.

 

Tags: