Indonesia Perlu Membuka Diskursus Kewarganegaraan Ganda
Terbaru

Indonesia Perlu Membuka Diskursus Kewarganegaraan Ganda

Dibutuhkan sumber daya manusia yang berpikiran global menuju Indonesia Emas 2045. Perlu ada kebijakan atau aturan yang memungkinkan anak perkawinan campuran berkiprah di Indonesia.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi perkawinan campuran. Ilustrator: HGW
Ilustrasi perkawinan campuran. Ilustrator: HGW

Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Agustus 2003-Agustus 2008), Jimly Asshiddiqie mengatakan sudah saatnya Indonesia memberi ruang untuk diskursus tentang kewarganegaraan ganda atau dwikewarganegaraan. Banyak manfaat yang diperoleh masing-masing negara yang menerapkan kewarganegaraan ganda. Ia memberi contoh sejumlah professional di bidang teknologi dan keuangan di Amerika Serikat yang merupakan keturunan India. Amerika Serikat dan India sama-sama memperoleh manfaat dari kebijakan dwikewarganegaraan.

Salah satu fakta yang sulit dihindari, kata Jimly, adalah perkawinan lintas negara. Mobilitas warga lintas negara dan lintas budaya memungkinkan pergaulan antarnegara semakin intens, termasuk relasi yang berujung pada perkawinan campur. “Perkawinan campur ini realitas di era global,” ujarnya dalam webinar ‘Anak Perkawinan Campuran: Aset SDM Masa Depan Menuju Indonesia Emas 2045’, yang diadakan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia (Perca Indonesia), Sabtu, 26/3/2022.

Jimly meminta masyarakat agar tidak berpandangan negatif terhadap dwikewarganegaraan. Itu sebabnya, diseminasi informasi dan diskursus kebijakan kewarganegaraan ganda penting dibuka secara luas untuk mempertimbangkan plus minusnya. “Studi-studi mengenai kewarganegaraan ganda sudah harus dilakukan secara meluas dan sosialiasi tentang pentingnya memperbincangkan ini,” sambungnya.

Generasi emas Indonesia 2045 membutuhkan sumber daya yang unggul, berpandangan global, dan punya kemampuan berinteraksi dalam lintas negara dan lintas budaya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki bekal dan pengalaman hidup dalam lintas budaya dan lintas negara. Analia Trisna, Ketua Umum Perca Indonesia, mengingatkan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mencanangkan Visi Indonesia Emas 2045. Dalam pidatonya pada 1 Maret 2022, Presiden Jokowi menyampaikan seruan untuk mengundang talenta-talenta digital yang berada di luar negeri untuk berkarya di Indonesia.

Perca Indonesia memiliki aset SDM yang sangat besar untuk memenuhi seruan Presiden tersebut. Banyak anak hasil perkawinan campuran yang bekerja di perusahaan-perusahaan bonafid di luar negeri. Analia Trisna mengatakan anak-anak hasil perkawinan campuran siap dipanggil untuk berkarya di Indonesia. Untuk itu, perlu ada kebijakan atau aturan yang memungkinkan anak-anak hasil perkawinan campuran bisa berkiprah di negara asal salah satu orang tua mereka.

Tantangannya, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan jelas menyatakan bahwa Undang-Undang ini tidak mengenal kewaraganegaraan ganda (bipatride) atau tanpa kewarganegaraan (apartide). Pengecualiannya hanya berlaku untuk anak hingga jangka waktu mereka harus memutuskan ikut kewarganegaraan ayah atau ibunya. Inilah yang disebut kewarganegaraan ganda terbatas. Kewarganegaraan ganda terbatas diberikan  sebagai suatu bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran. Tetapi mereka akan terbentuk pada status kewarganegaraan apabila belum menentukan pilihan menjadi WNI atau tidak pada usia 21 tahun.

Di acara yang sama, Staf ahli Menteri Hukum dan HAM, Bona Raja Manalu, mengatakan anak-anak hasil perkawinan campuran bisa menjadi jembatan emas bagi Indonesia menuju masa depan. Tinggal bagaimana memanfaatkan anak-anak unggul hasil perkawinan campuran. “Tentu dengan wawasan yang sudah internasional, sudah mengglobal,” imbuhnya.

Apabila ada peluang membuat kebijakan yang mengakomodasi dwikewarganegaraan, Jimly menyarankan agar kebijakannya tidak pukul rata. Artinya, tidak terbuka untuk semua negara. Indonesia bisa membuka kebijakan kewarganegaraan dengan negara tertentu yang bersifat resiprokal dan bilateral. “Bisa saja kebijakan kewarganegaraan diterapkan secara terbatas,” usul Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Kemudian, UU Kewarganegaraan menyebutkan yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan menurut Undang-Undang sebagai warga negara.

Tags:

Berita Terkait