Indonesia Tak Bisa Hindari AFTA
Berita

Indonesia Tak Bisa Hindari AFTA

Meskipun UU Ratifikasi Piagam ASEAN dibatalkan, AFTA tetap berlaku.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Majelis hakim MK gelar sidang pengujian UU pengesahan Piagam<br> ASEAN. Foto: ilustrasi (SGP)
Majelis hakim MK gelar sidang pengujian UU pengesahan Piagam<br> ASEAN. Foto: ilustrasi (SGP)

Berlakunya Piagam ASEAN terhadap Indonesia tidak serta merta didasarkan pada berlakunya UU No. 38 tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN. Sebab, pernyataan pengikatan diri Indonesia pada Piagam ASEAN didasarkan pada penyerahan Piagam Pengesahan kepada Sekretariat ASEAN seperti diatur Pasal 14 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.      

 

“Karena itu, pemberlakuan Piagam ASEAN bagi Indonesia dan negara Asia Tenggara sepenuhnya didasarkan ketentuan Piagam ASEAN itu sendiri yang merupakan perjanjian internasional, bukan UU pengesahannya,” ujar Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu, Linggawaty Hakim dalam pengujian Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN di ruang sidang Gedung MK, Rabu (20/7). 

 

Pengujian UU ini yang dimohonkan oleh Aliansi untuk Keadilan Global di antaranya Institute for Global Justice, Serikat Petani Rakyat, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, FNPBI, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Migrant Care, Aktivis Petisi 28, Asosiasi Pembela Perempuan Usaha Kecil, Koalisi Anti Utang, Salamuddin, Dani Setiawan, dan Haris Rusli.   

 

Pasal 1 ayat (5) mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi tunggal yang berarti pelaksanaan kesepakatan perdagangan ASEAN itu harus sama (homogen). Pasal itu  yang menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara di luar kawasan. Seperti ACFTA, ASEAN-Korean Free Trade Aggreement, ASEAN-Ausralian Free Trade Agreement.     

 

Mereka menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas itu merugikan industri dan perdagangan nasional karena Indonesia harus tunduk dengan segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

 

Linggawaty menegaskan materi muatan UU Pengesahan Piagam ASEAN hanya merupakan persetujuan pemerintah dan DPR untuk mengikatkan diri terhadap Piagam ASEAN. “Materinya sama sekali tidak mengubah bentuk ketentuan Piagam ASEAN dari norma hukum internasional menjadi hukum nasional,” kata Linggawaty.

 

Ia membantah dalih pemohon yang menyatakan berbagai free trade areas didasarkan pada Piagam ASEAN. Sebab, AFTA, ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN- India Trade Area, ASEAN-Japan Free Trade Area, dan ASEAN-Australia/New Zealand Free Trade Area dibuat atas dasar perjanjian internasional tersendiri, sebelum Piagam ASEAN berlaku.

 

Jika Mahkamah membatakan pengujian UU ini, perjanjian-perjanjian free trade area yang telah ditandatangani Indonesia itu tetap berlaku dan mengikat. Terlebih, menurut Pasal 27 Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional, suatu pihak tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar atas kegagalannya melaksanakan perjanjian internasional.   

 

“Menurut hukum internasional, Indonesia tidak dapat menggunakan alasan pembatalan oleh Mahkamah sebagai alasan pembenar untuk tidak melaksanakan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n. Jika Mahkamah mengabulkan permohonan ini, Indonesia secara hukum dalam posisi yang sangat sulit.”

 

Single market yang diterapkan sebenarnya dalam rangka memenuhi Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 untuk memajukan perdagangan, investasi, dan mendorong lalu lintas pelaku usaha, pekerja profesional pekerja berbakat, dan buruh. “Pembentukkan single market juga sebagai upaya mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan pembangunan. Karena itu, Pasal 1 angka 5 UU Piagam ASENA tidak bertentangan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.” 

 

Sementara Ekonom Sri Edi Suwarsono menegaskan pemerintah seharusnya mengendalikan pasar dan melindungi kedaulatan rakyatnya dalam bidang ekonomi. Sebab, keberadaan pasar bebas menyerahkan perlindungan itu pada mekanisme pasar. 

 

"Mekanisme pasar yang diserahkan pada selera pasar telah membuat bangsa ini terpuruk. Dengan selera pasar ini, kedaulatan pasar telah meminggirkan kedaulatan rakyat,” kata Edi yang sengaja dihadirkan pemohon sebagai ahli. 

 

Edi menegaskan daam Pasal 33 UUD 1945 itu menegaskan pemerintahan harus mengutamkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan pasar. Edi pun mengkritik ratifikasi sejumlah perjanjian internasional yang dilakukan sembarangan untuk dimasukkan ke dalam kebijakan nasional.

 

“Dalam menyusun kebijakan nasional kita harus memikirkan keselarasannya dengan UUD 1945,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.

Tags: