Industri Perbankan Syariah Mulai Bidik Proyek-Proyek Infrastruktur
Utama

Industri Perbankan Syariah Mulai Bidik Proyek-Proyek Infrastruktur

Namun, data dan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa struktur pendananaan di industri perbankan syariah masih didominasi dengan struktur pendanaan jangka pendek. Padahal, proyek infrastruktur lebih cocok menggunakan pendanaan dengan struktur jangka panjang.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Direktur  Utama Bank Muamalat, Endy Abdurrahman (kiri) dan Direktur Bisnis Korporasi Bank Muamalat, Indra Y. Sugiarto (kanan) saat berbincang dengan wartawan di Hotel JW Marriot Jakarta Senin (10/4).  Foto: NNP
Direktur Utama Bank Muamalat, Endy Abdurrahman (kiri) dan Direktur Bisnis Korporasi Bank Muamalat, Indra Y. Sugiarto (kanan) saat berbincang dengan wartawan di Hotel JW Marriot Jakarta Senin (10/4). Foto: NNP
Perbankan syariah mulai melirik untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Sejumlah bank syariah tercatat telah melakukan pembiayaan pada sejumlah proyek infrastruktur sejak awal tahun ini. nilai yang dikucurkan juga relatif besar dari total aset masing-masing bank syariah yang fokus melakukan pembiayaan proyek infrastruktur.

Direktur Bisnis Korporasi Bank Muamalat, Indra Y. Sugiarto, mengatakan bahwa Bank Muamalat akan fokus menyalurkan pembiayaan kepada sejumlah sektor, salah satunya sektor infrastruktur. Menurutnya, bank yang sudah berdiri sejak tahun 1991 ini akan memusatkan fokus penyaluran kreditnya kepada BUMN/BUMD dan perusahaan berlabel blue chip atau saham perusahaan yang relatif besar.

“Kami berharap, strategi ini dapat memacu tren positif pertumbuhan sektor pembiayaan di Indonesia sekaligus memenuhi target pembiayaan korporasi Bank Muamalat,” ujar Indra di sela-sela acara “Indonesia Economic Outlook 2017: Q1 Review, Challenges and Prospec” di Jakarta, Senin (10/4).

Indra menambahkan, tahun sebelumnya Bank Muamalat juga telah melakukan pembiayaan infrastruktur mulai dari jalan tol, kostruksi hingga ke proyek power plant (pembangkit listrik). Untuk tahun ini, Indra menyebutkan bahwa total pembiayaan yang akan dikucurkan untuk proyek infrastruktur mencapai lima persen dari total portfolio Bank Muamalat. Persentase itu, lanjutnya, juga lebih besar dari tahun sebelumnya yakni kurang dari lima persen dari total portfolio Bank Muamalat.

Namun, Indra menegaskan bahwa selain ada penambahan persentase, tahun ini juga akan dilakukan penggantian proyek-proyek yang sebelumnya telah didanai (replacement existing). Hal ini demi memperbaiki return on asset (ROA) lantaran ada sebagian yang cukup besar pelunasannya dan ingin diganti dengan aset-aset yang lebih berkualitas. Sehingga, total pembiayaan khusus untuk BUMN yang targetnya mencapai Rp 2,5 Triliun itu akan dikucurkan dengan hati-hati melihat proyek-proyek apakah visibel atau tidak.

“Yang barunya kita targetkan sekitar Rp 1,5 T.sampai Rp 2 T. Jadi, totalnya hampir Rp 4 T, ada dana baru dan existing. Kebetulan posisi FDR (Finance to Deposit/rasio pembiayaan) kita masih kuat, jadi masih banyak dana berlebih untuk disalurkan kepada perusahaan-perusahaan,” papar Indra.

Catatan Hukumonline, selain Bank Muamalat yang fokus melakukan pembiayaan pada proyek infrastruktur, sejumlah bank syariah lainnya juga telah fokus melakukan pendanaan ke industri tersebut. PT Bank Syariah Mandiri (BSM) tahun ini juga membidik pembiayaan di sektor infrastruktur dengan nilai mencapai Rp 3,6 Triliun dan fokus membiayai proyek Pelindo I yakni pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung. Untuk mendanai proyek itu, BSM akan mengandalkan likuiditas yang berasal dari simpanan dana haji yang memiliki tenor panjang hingga 10 tahun.

Belakangan, BSM juga telah melakukan perjanjian pembiayaan dengan tiga anak perusahaan PT Industri Kereta Api Indonesia, yakni PT Inka Multi Solusi (IMS), PT Inka Multi Solusi Trading (IMST), dan PT Inka Multi Solusi Servis (IMSS). Nilai proyeknya, bila dirinci yakni Rp 150 Miliar untuk PT IMS, Rp 160 Miliar untuk PT IMST, dan Rp 42 Miliar untuk PT IMSS.

Selain Bank Muamalat dan BSM, PT Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah pada tahun yang sama juga berkomitmen menyalurkan pembiayaan infrastruktur di segmen komersial. BNI Syariah menargetkan pembiayaan infrastruktur untuk BUMN sekitar Rp 500 Miliar. Strategi yang dilakukan BNI yakni dengan berkolaborasi dengan induk perusahaan, yakni PT BNI Tbk yang disepakati melalui skema model value chain (rantai nilai).

Dikatakan Indra, Bank Muamalat sendiri akan menggunakan pendanaan jangka panjang seperti menggunakan Sukuk yang tenornya bisa mencapai lima tahun. Indra menyebutkan, soal tenor ini memang menjadi tantangan lantaran proyek infrastruktur ini rata-rata punya jangka waktu panjang, yakni mulai dari lima tahun sampai 10 tahun. Sehingga, dari segi cost tentu akan sedikit lebih mahal untuk margin atau interest rate-nya.

“Jadi ada yang BUMN yang terkait infrastruktur atau listrik, dan konstruksi. Ini masuk dalam targetnya Bank Muamalat. Kita melihat walaupun dana jangka panjang, tetapi memang ingin masuk ke proyek infrastruktur karena sangat berguna bagi masyarat,” tutup Indra.

Hukumonline.com

Dalam Road Map Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang disusun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejumlah arah kebijakan struktur pendanaan dan segmen pembiayaan industri perbankan syariah telah menyinggung soal pendanaan infrastruktur. Pertama, keterlibatan bank syariah dalam pengelolaan dana pemerintah pusat atau daerah dan dana BUMN/BUMD. Kedua, perluasan pembiayaan produktif di sektor corporate & long term (infrastructure).

Hukumonline.com
Sumber: Laporan Perkembangan Keuangan Syariah OJK, Januari 2017.

Pada kebijakan pertama, bank dan asosiasi perbankan syariah diharapkan lebih proaktif melakukan identifikasi dan mengkomunikasikan kemungkinan pemanfaatan dana dengan memanfaatkan ragam karakteristik produk keuangan syariah, sehingga bank syariah dapat dipercaya mengelola dana pemerintah dan badan usaha terkait. Menurut peta jalan itu, dana pemerintah pusat dan daerah serta dana BUMN/BUMD merupakan salah satu sumber potensial bagi ekspansi segmen usaha perbankan syariah.

OJK juga akan menjembatani komunikasi antara industri dengan instansi pemerintah dan badan usaha terkait, di samping memfasilitasi pengembangan dan perizinan produk yang diperlukan. Sementara, kebijakan kedua, perbankan syariah diminta dapat mengakomodasi sektor-sektor ekonomi strategis, seperti sektor energi, pertanian, industri pengolahan, serta sektor infrastruktur. Sebagai timbal balik, akan diberkan dukungan terhadap perbankan syariah dengan insentif pengawasan atau perizinan yang tidak ‘one fits for all’ dan penyempurnaan regulasi yang sejalan dengan karakteristik risiko sektoral serta dukungan pengembangan keahlian dan kualitas layanan.

Sayangnya, menurut Laporan Perkembangan Keuangan Syariah 2015 yang dirilis OJK pada Januari 2017 kemarin, tercatat komposisi DPK BUS-UUS didominasi oleh deposito sebesar 61% (Rp140 T), diikuti oleh tabungan sebesar 30% (Rp68 T) dan giro sebesar 9% (Rp21 T). Komposisi deposito BUS-UUS ini menurun sebesar 1,2% dari tahun 2014 yang mencapai 62,2%. Komposisi pendanaan perbankan syariah menunjukkan sumber dana utama perbankan syariah masih didominasi dana mahal dan jangka pendek yang menyebabkan perbankan syariah masih mengalami kesulitan untuk mengembangkan pembiayaan-pembiayaan jangka panjang.

Selain itu, jika dilihat dari jangka waktu deposito, sumber dana BUS-UUS didominasi oleh deposito jangka waktu 1 bulan sebesar 45% atau Rp103,7 triliun, menurun sebesar 2,3% dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 47,3%. Sedangkan komposisi deposito jangka waktu 3 bulan yang merupakan sumber dana terbesar kedua mencapai 11% atau Rp24,2 triliun, meningkat sebesar 1,5% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 9,5%. Komposisi DPK BPRS terdiri dari deposito sebesar 61,38% dan tabungan sebesar 38,62%. Tahun 2015, baik deposito maupun tabungan BPR  mengalami partumbuhan masing-masing sebesar 17,60% dan 19,75%.

Hukumonline.com
Sumber: Laporan Perkembangan Keuangan Syariah OJK, Januari 2017.

Pengamat Ekonomi, Anggito Abimanyu, pada kesempatan yang sama, mengatakan bahwa rencana pemerintah mengatasi kesulitan pembiayaan proyek infrastruktur yang hanya mengandalkan APBN/APBD kemudian mencari dukungan dari pihak swasta terutama industri keuangan patut diapresiasi. Namun, bagi industri jasa keuangan, terutama perbankan tentu sulit sekali mengingat banyak lantaran industri bank, baik bank umum ataupun bank syariah didominasi struktur jangka pendek.

“Tidak mudah di bank, strukturnya tidak cocok karena jangka pendek,” sebut Anggito yang juga menjabat sebagai Chief Economist pada Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Akan tetapi, belakangan ini Bank Indonesia (BI) baru saja menerbitkan peraturan mengenai sertifikat deposito pasar uang. Melalui PBI Nomor 19/2/PBI/2017, aturan ini diproyeksikan akan mendukung kebutuhan pemerintah dalam membangun proyek-proyek infrastruktur yang punya jangka waktu yang panjang. Aturan ini, baru mulai akan efektif berlaku per 1 Juli 2017 nanti.

Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI, Nanang Hendarsah, mengatakan bahwa instrumen sertifikat deposito sangat penting untuk mematangkan struktur pendanaan pada industri perbankan. Menurutnya, struktur pendanaan perbankan masih didominasi oleh Dana Pihak Ketiga (DPK), seperti tabungan, giro, serta sertifikat deposito sebesar 93% yang bersifat jangka pendek dan rentan terhadap penarikan sewaktu-waktu.

Selain itu, penempatan dana bank mayoritas dalam bentuk kredit sebesar 69% dari penempatan dana dengan jangka waktu yang relatif panjang. Disebutkan Nanang, kondisi itu berpotensi menimbulkan mismatch tenor aset-kewajiban perbankan. sehingga, ia mendorong perbankan mulai mempertimbangkan untuk menjadikan instrumen sertifikat deposito sebagai sumber pendanaan.

“Sifatnya sangat pendek, jadi kira-kira sampai satu bulan. Kalau struktur perbankan yang sangat pendek, sulit mendapatkan bagi bank untuk biayai proyek-proyek yang sifatnya jangka panjang. Deposito rata-rata satu bulan, bahkan tabungan setiap saat bisa ditarik, itu sebabkan struktur maturitas liabilities atau sisi pasiva neraca bank sangat pendek,” kata Nanang di kantornya akhir Maret 2017 kemarin.

Nanang melanjutkan, perbankan yang selama ini hanya tempatkan aset di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan REPO punya pilihan untuk membeli instrumen sertifkat deposito. Bagi bank yang menerbitkan sertifikat deposito, bank akan diuntungkan karena profil maturitas kewajiban sertifikat deposito panjang yakni mencapai 3 tahun dimana perbankan tidak perlu khawatir soal kewajiban waktu jatuh tempo. Menurut Nanang, dalam waktu dekat ada tiga bank yang rencananya akan menerbitkan sertifkat deposito bernilai Rp 5,4 Triliun.

Sayangnya, Nanang masih enggan menyebutkan siapa tiga pihak bank yang akan segera menerbitkan sertifikat deposito ini. BI juga terus mendorong bank lainnya untuk mulai bermain ke instrumen ini. Setidaknya, 116 bank terus didorong untuk menerbitkan sertifikat deposito. Begitu halnya dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD), BI juga mendorong BPD untuk menerbitkan sertifkat deposito agar dapat memperbaiki funding mereka.

“Karena teradi transaksi jual beli yang cukup aktif, ini akan membuat price discovery atau pembentukan harga di pasar uang akan menjadi lebih efisien. Praktik di banyak negara, instrumen pasar uang yang diperdagangkan secara aktif akan mencapai price efficiency, harganya akan terbentuk lebih efisien dibanding instrument yang tidak diperdagangkan di pasar uang. Artinya, bank kalau menerbitkan sertifikat deposito masuk ke wholesale market. Kalau dia menerima DPK, ini dalam bentuk ritel,” paparnya

(Baca Laporan Mendalam Soal Aturan Terbaru Tentang Sertifikat Deposito: PBI Transaksi Deposito Akan Dukung Kesulitan Pembiayaan Infrastruktur)

Pokok Pokok Pengaturan PBI Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang
1Kriteria Sertifikat Deposito yang Ditransaksikan di Pasar Uang
Ø  Diterbitkan dalam bentuk tanpa warkat (scriptless)
Ø  Bunga dibayarkan secara diskonto
Ø  Diterbitkan dalam denominasi rupiah atau valuta asing
Ø  Diterbitkan dengan besaran nominal paling sedikit Rp 10 miliar atau ekuivalennya dalam valuta asing dan selanjutnya dengan kelipatan Rp 10 miliar atau ekuivalennya dalam valuta asing.
2Perizinan Penerbit dan Lembaga Pendukung Pasar Uang
Ø  Bank yang menerbitkan sertifikat deposito yang ditransaksikan di pasar uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia
Ø  Perusahaan efek dan perusahaan pialang yang bertindak sebagai perantara transaksi sertifikat deposito wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia
Ø  Bank dan Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Kustodian untuk sertifikat deposito yang ditransaksikan wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia
Ø  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (Sebelumnya dikenal dengan isitlah Surat Edaran BI)
3Transaksi Sertifikat Deposito
Ø  Transaksi sertifikat deposito dilakukan secara langsung atau melalui perantara pelaksanaan transaksi
Ø  Penyelesaian transaksi sertifikat deposito harus dilakukan paling lama 5 hari kerja setelah transaksi (t +5)
Ø  Penghitungan harga transaksi sertifikat deposito menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count convention), yaitu Actual/360
Ø  Penghitungan harga dalam transaksi sertifikat deposito dapat mengacu pada suku bunga acuan (JIBOR & LIBOR) yang berlaku secara umum di pasar.
4Pelaporan dan Pengawasan
Ø  Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap sertifikat deposito yang ditransaksikan di pasar uang sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang
Ø  Bank dan perusahaan efek yang melakukan transaksi sertifikat deposito untuk kepentingan sendiri dan/atau yang memberikan jasa perantara pelaksanaan transaksi sertifikat deposito nasabah wajib menyampaikan laporan transaksi secara periodik kepada Bank Indonesia
Ø  Perusahaan pialang yang memberikan jaminan jasa perantara pelaksanaan transaksi sertifikat deposito nasabah wajib menyampaikan laporan transaksi nasabahnya secara periodic kepada Bank Indonesia.
Ø  LPP yang ditunjuk Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan atas penatausahaan sertifikat deposito secara periodic kepada Bank Indonesia
Sumber: PBI Nomor 19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, Diolah.

Industri Asuransi dan Dana Pensiun Dinilai Lebih Tepat
BI menyebut bahwa salah satu manfaat dari penerbitan sertifkat deposito adalah untuk memperbaikin profil tenor mismatch  terkait pendanaan dan penempatan dana perbankan. Menurut Nanang, lembaga keuangan tak hanya bank sangat berpotensi untuk menjadi investor sertifikat deposito ini seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, BPJS, manajer investasi, korporasi, serta investor asing yang membeli di pasar primer karena khusus untuk investor asing dilarang membeli melalui pasar sekunder.

“Dengan adanya PBI Sertifikat Deposito di pasar uang akan ada potensi penambahan instrumen bagi perusahaan asuransi dan dana pensiun,” kata Nanang menekankan.

Hukumonline.com
Sumber: Bank Indonesia

Sebagaimana diwartakan Hukumonline, Pemerintah butuh modal sebesar Rp5 ribu triliun untuk mendanai proyek infrastruktur. Namun, cadangan kas negara baru cukup mendanai kurang dari separuh kebutuhan itu. Bahkan, sekalipun anggaran infrastruktur pemerintah digabung selama lima tahun mulai dari 2015 sampai 2019, baru terkumpul kurang lebih sekitar Rp 1.500 triliun. Berarti, pemerintah butuh dana swasta terlibat lebih besar.

Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Pungky Sumadi mengatakan bahwa pemerintah terus mencari solusi mengatasi keterbatasan Anggaran Belanja Pendapatan Negara/Daerah (APBN/APBD). Salah satu alternatif yang didorong pemerintah adalah menarik minat pelaku usaha swasta agar terlibat dalam penyediaan infrastruktur.

“Kita mendorong lebih jauh lagi dimana penyediaan infrastruktur bisa sepenuhnya oleh non pemerintah. Dunia usaha kita dorong,” kata Pungky akhir Februari 2017 kemarin.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian PPN/Bappenas memang tengah mendorong pelaku usaha terutama yang mengelola dana jangka panjang agar berpartisipasi dalam penyediaan infrastruktur. Melalui program yang dinamai Pembiayaan Investasi Non Anggaran (PINA), pemerintah berharap kebutuhan penyediaan infrastruktur yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah baik Kementerian/Lembaga ataupun Pemerintah Daerah dapat ditutupi oleh keberadaan pelaku usaha swasta maupun BUMN/BUMD.

(Baca Ulasan Mendalam Mengenai PINA: Jalan Keluar Atasi Kesulitan Pembiayaan Infrastruktur di Sektor Energi dan Infrastruktur)

Hukumonline.com

Sumber pendanaan proyek PINA dapat berasal namun tidak terbatas pada dana-dana infrastruktur, dana institusi domestik maupun global, serta pasar modal modal domestik dan global. Sumber pembiayaan yang dimaksud itu bisa berasal dari penanaman modal, dana kelolaan, pasar modal, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain ataupun pembiayaan yang sah lainnya. Menteri PPN/Kepala Bappenas,Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa dana pensiun dan asuransi jiwa merupakan sumber pendananaan jangka panjang.

Kedua sumber pendanaan itu, katanya, merupakan ‘pasangan yang serasi’ karena sama-sama punya orientasi jangka panjang. Pengelola dana pensiun dan asuransi jiwa mesti menempatkan dana yang besar itu ke dalam skema yang tepat agar mendapatkan return (imbal balik) yang optimal. Sebagiamana diketahui, peserta dana pensiun dan pemegang polis tentu berharap mereka menerima manfaat yang paling optimal saat waktu jatuh tempo tiba.

“Ini ketemu, karena kalau mengandalkan perbankan saja. Perbankan itu dana pihak ketika kebanyakan jangka pendek apakah tabungan atau deposito. Padahal proyek infrastruktur jangka panjang, ini yang menyebabkan miss match. Ini kenapa bank komersial tidak bisa memberikan porsi yang besar untuk infrastruktur, dia pasti ada batasnya,” sebutnya.

(Baca Ulasan Mendalam Mengenai Upaya Pemerintah Memenuhi Pembiayaan Infrastruktur: Taktik Pemerintah dari Masa ke Masa ‘Merayu’ Investor Bangun Infrastruktur)

Bambang menyebut, satu contoh skema PINA yang sudah teralisasi adalah tercapainya financial closing pembiayaan ekuitas proyek jalan tol Waskita Toll Road yang melibatkan peran PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI (Persero) dan PT Taspen (Persero). Dalam proyek konsesi 15 ruas jalan tol ini, PT SMI dan PT Taspen memberikan pembiayaan awal sebesar Rp3,5 triliun kepada PT Waskita Toll Road. (Baca Juga: Permendagri 96/2016 Terbit, Pembiayaan Infrastruktur Daerah Diharap Lebih Mudah)

Proyek Waskita Toll Road membutuhkan dana investasi senilai Rp70 triliun. Namun, PT Waskita Karya sebagai pemegang saham waktu itu hanya punya modal Rp6 triliun. Padahal, modal minimal yang dibutuhkan mencapai Rp21 triliun. Lantas, bagaimana dengan kekurangan modal Rp15 triliun? Kata Bambang, kalau memakai skema PMN nantinya berpotensi menimbulkan problem dari segi kas negara maupun saat pembahasan di Parlemen. Maka disepakati skema PINA ini dengan PT SMI dan PT Taspen.

“Mereka (PT SMI dan PT Taspen) juga butuh return yang baik, tapi jangan dilihat partisipasi PT SMI dan  PT Taspen ini sebagai charity atau CSR atau sebagai apapun yang tidak bernilai ekonomis. Ini justru nilainya sangat ekonomis. Saking ekonomisnya, deal ini baru selesai setelah 11 bulan. Mereka sibuk negosiasi untuk dapat return yang terbaik bagi masing-masing. Dan ini wajar bagi dunia bisnis. Meskipun sesama BUMN kalau udah urusan duit,kenceng negosiasinya,” paparnya.

Hukumonline.com

Bak gayung bersambut, BI melalui PBI terbarunya ini juga mendorong agar sektor jasa keuangan, salah satunya asuransi dan dana pensiun untuk masuk menjadi investor potensial penerbitan sertifikat deposito. Kedua industri ini bisa mempertimbangkan bahwa alokasi investasi mereka sebagian besar berada di instrumen tabungan dan deposito.

“Perusahaan asuransi dan dapen jadi potensial investor di NCD, krn alokasi investasi tinggi di tabungan dan deposito. Dengan aturan NCD ini akan ada potensi penambahan instrumen bagi perusahaan asuransi dan dapen,” kata Nanang.
Tags:

Berita Terkait