Ingat! Korban Kekerasan Seksual Juga Punya Hak Restitusi
Berita

Ingat! Korban Kekerasan Seksual Juga Punya Hak Restitusi

Bisa dalam bentuk penggantian biaya perawatan medis atau psikologis. Jika korban meninggal dunia, restitusi bisa diberikan kepada ahli warisnya.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi
Maraknya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak belakangan ini menjadi concern tersendiri bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, kasus kejahatan seksual tersebut jangan hanya menghukum berat para pelaku saja. Tapi juga perlu diingat bahwa ada hak korban berupa ganti kerugian (restitusi) akibat tindak pidana tersebut.

“Selain menghukum pelaku, LPSK juga mengajak semua pihak untuk memerhatikan hak-hak korban kejahatan,” tulis Semendawai dalam siaran persnya yang diterima hukumonline, Kamis (2/6).

Terkait restitusi ini, lanjut Semendawai, sudah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Restitusi tersebut beragam bentuknya, mulai dari penggantian biaya perawatan medis hingga psikologis.

“Berbicara mengenai hak korban, seperti dalam kasus kekerasan seksual, banyak bentuknya, mulai medis, psikologis, dan pendampingan terhadap mereka pada saat persidangan,”tulisnya.

Ia mengatakan, hak korban ini perlu disosialisasikan lebih jauh. Hak ini mengingatkan korban dan keluarganya bahwa UU memberikan kesempatan untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku. Pengajuan restitusi ini bisa dilakukan bersamaan dengan proses pidana, bahkan dimulai dari awal penyelidikan.

“Hal-hal seperti ini (restitusi) belum banyak dipahami oleh korban kejahatan. Di sisi lain, masih banyak juga aparat penegak hukum yang belum berani melakukannya,” tutur dia.

Sekadar catatan, klausul mengenai restitusi tertuang dalam Pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam pasal itu disebutkan bahwa restitusi bagi korban tindak pidana dapat berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian atas penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, serta penggantian biaya perawatan medis atau psikologis.

Tindak pidana tersebut ditetapkan dengan Keputusan LPSK. Lalu, pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. Jika permohonan restitusi diajukan sebelum inkrah, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.

Namun apabilapermohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan. Jika korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada keluarga yang merupakan ahli waris korban.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan pemberian kompensasi dan restitusi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Masalah Teknis
Dalam pemenuhan hak korban kejahatan, lanjut Semendawai, ada permasalahan teknis menyangkutpendampingan yang dilakukan LPSK kepada para korban kekerasan seksual. Pada beberapa kasusmisalnya, aparat penegak hukum, termasuk hakim pada saat menyidangkan kasus asusila, tidak mengizinkan LPSK untuk melakukan pendampingan dengan dalih sidang dilakukan tertutup. Padahal, dalam UU disebutkan, perlindungan diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana.

“Memang masih ada hakim yang berpikir akan ada pihak yang berkeberatan karena sidang tertutup,” ujarnya.

Kendala-kendala teknis yang ditemui di lapangan menyebabkan belum maksimalnya perlindungan terhadap saksi dan korban yang dilakukan LPSK. Atas dasar itu, LPSK melakukan inventarisasidan mencarisolusinya melalui Rapat Koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum yang dilaksanakan di Bali selama empat hari mulai 31 Mei-3 Juni 2016.

Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar mengatakan, hukum itu sangat dinamis sehingga setiap tahun perlu dilakukan koordinasi dengan para aparat penegak hukum demi peningkatan perlindungan saksi dan korban. Atas dasar itu, sinergi antara LPSK dan aparat penegak hukum terus terjadi. Hal ini penting untuk mengantisipasi jika di lapangan terjadi benturan atau kendala, dengan hubungan yang harmonis dan sinergis, semuanya bisa dikomunikasikan.
Tags:

Berita Terkait