Ingin Gunakan Dalil Force Majeure, Pahami Dulu Persyaratannya
Utama

Ingin Gunakan Dalil Force Majeure, Pahami Dulu Persyaratannya

Bersandar pada Pasal 1245 KUHPerdata saja tidaklah cukup. Harus dapat membuktikan ada halangan yang betul-betul mengakibatkan prestasinya tak bisa dilakukan. Pernah diputus saat krismon 1998.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Akhmad berpandangan, jika force majeure diterapkan secara serampangan dalam kondisi perusahaan sebetulnya masih dapat melakukan prestasi, maka yang terjadi hanyalah perubahan penanggungan risiko (switch risiko) saja. Misalnya, jika awalnya kerugian akibat terhambatnya pelaksanaan prestasi itu ditanggung oleh debitur, namun karena debitur mengajukan force majeure akhirnya terbebas dari beban penanggungan kerugian itu. Sebagai gantinya, otomatis krediturlah yang harus menanggung kerugian itu. Artinya, Akhmad berpandangan tidak terefleksi prinsip keadilan (win-win solution) dalam hal ini. Seharusnya, kerugian dalam kondisi jatuhnya ekonomi dalam masa pandemi ini bisa ditanggung secara bersama-sama antara kreditur dan debitur. Itulah alasan mengapa renegosiasi berdasarkan prinsip iktikad baik menjadi pilihan terbaik.

 

Sedikit berbeda dengan Akhmad, Partner firma hukum IABF, Ivan Baely berpandangan klasifikasi pandemi Covid-19 sebagai force majeure tetap bisa dilakukan karena dianggapnya sudah sesuai dengan ketentuan pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Bahkan bilamana kontrak yang ditandatangani para pihak belum mengatur klausula force majeure, pihak tersebut tetap bisa bersandar pada dasar hukum pasal 1245 KUHPerdata. Untuk bisa dikabulkan di pengadilan, alasan force majeur yang diajukan harus disertakan dengan bukti yang memadai, seperti apa saja akibat riil yang dialami debitur dalam keadaan kahar itu.

 

“Menurut saya sudah terpenuhi Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata. Semua orang juga sudah melihat Covid ini bisa tersebar. Bahkan negara lain yang telah melakukan segala Tindakan yang lebih bagus dan teliti dari negara kita tetap kena. Engga ada yang bisa menghindar. Hanya saja ini tetap harus dibuktikan, engga bisa kita langsung hanya datang ke pihak bank, dan klaim kita force majeure,” jelasnya.

 

Di situasi seperti inilah dibutuhkan iktikad baik semua pihak untuk melakukan segala upaya yang menghasilkan win-win solution. Kebenaran adanya iktikad baik itulah yang nantinya akan diadili di pengadilan, karena memang ada jenis debitur yang betul-betul tidak bisa bayar dalam kondisi kahar ini, tapi juga ada debitur yang sebetulnya bisa bayar namun tidak mau membayar.

 

Penting digarisbawahi, Ivan menambahkan, sifat dari force majeure tidaklah menghilangkan kewajiban debitur, melainkan hanya menghilangkan kewajiban pembayaran bunga dan kerugian. Lantas bisakah force majeure membatalkan perjanjian? Ia berpandangan konsekuensi pembatalan perjanjian akibat terjadinya force majeur hanya bisa berlaku jika para pihak telah mencantumkan klausula pembatalan kontrak akibat force majeure dalam perjanjian yang telah mereka sepakati. Bila tidak diatur pembatalan dalam kontrak, maka yang berlaku adalah penundaan kewajiban.

 

Yurisprudensi

Krisis ekonomi dimasa pandemi ini, disebutnya tak jauh berbeda bila dibandingkan dengan krisis moneter 1998. Bila ditelusuri, umumnya yurisprudensi pengadilan ketika itu tidak mengabulkan pembelaan debitur yang mendalilkan bahwa krisis moneter dapat diklasifikasikan sebagai keadaan kahar atau force majeure. Satu-satunya putusan yang dikabulkan Pengadilan terkait pembelaan force majeure, sejauh penelusuran Akhmad Budi Cahyono ditemukannya pada Kasus Pertamina vs PT Wahana Seno Utama terkait kontrak pembangunan, pengoperasioan dan pengelolaan Gedung Menara Gas di tahun 2003.

 

(Baca juga: Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata)

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, ratio decidendi majelis hakim atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 237/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst itu berporos pada fakta terhambatnya pembangunan khususnya proyek pembangunan Gedung Menara Gas Pertamina kala itu. Kolapsnya bank-bank dan para penyandang dana juga menjadi bukti bahwa tergugat betul-betul tidak mampu menyelesaikan pembangunan Gedung itu.

Tags:

Berita Terkait