Ini 12 Isu Pending dalam RKUHP
Utama

Ini 12 Isu Pending dalam RKUHP

Mulai pengaturan rumusan hukum yang hidup di masyarakat, batasan usia pemidanaan, kesusilaan, hingga judul RUU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Ketujuh, tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Pengaturan terhadap tindak pidana martabat presiden dan wapres diatur dalam Pasal 238-240. Bila di draf sebelumnya, ancaman dalam Pasal 238 selama 5 tahun, kini menjadi 9 tahun. Begitu pula dengan Pasal 239 yang tadinya tidak terdapat ayat, kini menjadi dua ayat. Perbaikan rumusan pasal dilakukan dalam rangka mengakomodir putusan MK No.013-022 Tahun 2009 serta diskusi dengan berbagai ahli.

 

Kedelapan, aspek kesusilaan. Pasal tersebut belakangan memang menjadi sorotan publik. Tak saja soal pengaturan palarangan hubungan sejenis, namun juga delik yang dapat dijadikan mekanisme proses hukum. Misalnya, banyak masyarakat menyorot Pasal 484 ayat (1) huruf e.

 

Sebab melalui pengaturan pasal tersebut, perumus melakukan overkriminalisasi. Pasal tersebut yang dikhawatirkan adalah laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. Begitu pula dengan Pasal 488 dan 495 menjadi sorotan banyak masyarakat.

 

Kesembilan, tentang perjudian. Pengaturan pemidanaan terhadap tindak pidana perjudian diatur dalam Pasal 505. Kesepuluh, tentang ketentuan peralihan. Di masa transisi bagi lembaga penegak hukum terhadap tindak pidana khusus dari UU di luar KUHP diperlukan pembahasan mendalam. Karena itulah KPK tetap berwenang melakukan tugas penegakan hukum pro justicia terhadap kasus korupsi.

 

Kesebelas, terkait dengan judul Rancangan Undang-Undang (RUU). Internal tim pemerintah menyepakati judul ‘Undang-Undang Hukum Pidana’. Namun, kata Prof Enny, dapat disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keduabelas, tentang ketentuan bab tindak  pidana khusus. Khusus delik khusus dalam RKUHP dibatasi dengan tindak pidana hak asasi manusia, terorisme, korupsi, pencucian uang, narkotika dan psikotropika. Alasannya mulai memiliki dampak viktimisasi besar, hingga didukung oleh konvensi internasional.

 

Terkait isu-isu pending ini, Anggota Panja RKUHP Arsul Sani mengatakan, pihaknya membuka ruang masukan dari masyarakat. Ia berharap masukan masyarakat tersebut sudah tidak dalam bentuk wacana, tetapi, masukan dalam bentuk rumusan pasal. “Kami membuka diri. Maka ajukan saja ke Komisi III untuk RDPU (rapat dengar pendapat umum). Tapi ketika datang, jangan dalam bentuk perspektif wacana. Tapi tawaran (konkrit) rumusan pasal-pasal alternatif,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait