Ini 13 Putusan MK yang Dikabulkan Sepanjang 2021
Kaleidoskop 2021

Ini 13 Putusan MK yang Dikabulkan Sepanjang 2021

Dari 13 putusan MK yang dikabulkan diantaranya menyangkut PUU UU KPK, PUU BPJS, PUU Pengadilan Tipikor, PUU Penanganan Covid-19, PUU Minerba, PUU Kepailitan dan PKPU, UU Cipta Kerja, hingga UU Desa.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 10 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sepanjang tahun 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan 13 permohonan pengujian undang-undang (PUU) yang terdiri dari 1 permohonan uji formil dan 12 putusan uji materil. 13 putusan MK yang dimaksud diantaranya menyangkut PUU UU KPK, PUU BPJS, PUU Pengadilan Tipikor, PUU Penanganan Covid-19, PUU Minerba, PUU Kepailitan dan PKPU, hingga UU Cipta Kerja. Berikut ini 13 putusan MK yang dikabulkan MK sepanjang 2021 yang telah dirangkum Hukumonline.

  1. Kewenangan Dewas Dipangkas KPK

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sebab, kewenangan itu merupakan tindakan pro justitia yang hanya boleh dilakukan aparat penegak hukum. Sejak putusan ini, tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK cukup diberitahukan kepada Dewas KPK.        

Hal tersebut tertuang dalam putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 terkait pengujian materil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dibacakan, Selasa (4/5/2021). Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dan sejumlah dosen Fakultas Hukum UII tersebut.

Fathul Wahid dkk memohon pengujian Pasal 1 angka 3; Pasal 3; Pasal 12 B; Pasal 24; Pasal 37 B ayat (1) huruf B; Pasal 40 ayat (1); Pasal 45 a ayat (3); dan Pasal 47 Perubahan UU KPK. Dalam permohonannya, Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (1) UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon beralasan hal tersebut karena penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan tindakan pro justitia, sehingga tidak tepat jika kewenangan memberikan izin atas tindakan-tindakan tersebut dimiliki Dewas KPK.  

  1. Aturan Peralihan Pengelolaan Dana Pensiun dari PT Taspen ke BPJS Dibatalkan

MK membatalkan berlakunya Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) terkait rencana pemerintah bakal mengalihkan pengelolaan dana pensiun dari PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen) kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029. Melalui Putusan MK No.72/PUU-XVII/2019 yang dibacakan Rabu (30/9/2021), MK menyatakan kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.    

Permohonan ini diajukan mantan Wakil Ketua MA Prof Mohammad Saleh bersama 14 pensiunan pejabat PNS dan PNS aktif. Ke-15 pemohon ini adalah peserta program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua di PT Taspen. Aturan itu dinilai menimbulkan potensi kerugian hak konstitusional para pemohon dan ketidakpastian mendapatkan jaminan sosial yang dijamin Pasal 28D ayat (1) jo Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945. 

  1. UU Penanganan Covid-19 Berlaku Paling Lama 2 Tahun Sejak Diundangkan

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dalam pertimbangan hukumnya, memutuskan UU Penanganan Covid-19 hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU Penanganan Covid-19 diundangkan pada 18 Mei 2020.

Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19.

Menurut Mahkamah, Pasal 29 Lampiran UU Penanganan Covid-19 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Perppu ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. 

  1. KK-PKP2B Tidak Otomatis Perpanjangan Menjadi IUPK

Ketentuan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi sebagaimana diatur Pasal 169A UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Hal itu tertuang dalam Putusan MK No.64/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan Muhammad Kholid Syeirazi selaku Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama dibacakan pada Rabu (27/10/2021) di Ruang Sidang Pleno MK.

Mengutip amar putusannya, Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian. Mahkamah menyatakan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “diberikan jaminan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat diberikan”. Ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Minerba sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat”.

Dengan begitu, Mahkamah menyatakan Pasal 169A ayat (1) UU Minerba selengkapnya berbunyi, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 dapat diberikan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: …”. Sedangkan, Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU No.3 Tahun 2020, selengkapnya menjadi berbunyi:

a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi 175 setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

  1. Hakim Ad Hoc Tipikor Dapat Menjabat 3 Periode

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutus setiap hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi dapat menjabat sebanyak 3 kali. Bagi hakim ad hoc yang telah menjabat selama dua periode masa jabatan dapat maju kembali sebagai calon hakim ad hoc untuk periode berikutnya. Syaratnya yang bersangkutan harus mengikuti seluruh persyaratan dan proses pencalonan dari awal bersama-sama dengan calon hakim ad hoc lainnya.

Dalam amar putusannya, MK Menyatakan Pasal 10 ayat 5 UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diangkat untuk masa jabatan selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan perundang-undangan serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Permohonan ini sebelumnya diajukan oleh Sumali dan Hartono yang dirugikan akibat adanya Pasal 10 ayat (5) UU No.46 Tahun 2009 tentang UU Pengadilan Tipikor karena dirugikan aturan tersebut periodeisasi jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi selama 5 tahun dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan.

  1. DPR dan Presiden Diperintah Buat UU Asuransi Usaha Bersama Dalam Waktu 2.5 Tahun

Dalam Putusan MK No.32/PUU-XVIII/2020, MK memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk membuat UU Asuransi Usaha Bersama. Putusan ini sebenarnya bukanlah hal baru. Sebab, sebelumnya MK pernah memutus hal yang sama dalam Putusan MK No.32/PUU-XI/2013 dimana Presiden dan DPR juga telah diperintahkan membuat UU Asuransi Bersama dalam waktu 2.5 Tahun. Untuk itu, dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan secara expressis verbis, MK memerintahkan pembentuk UU (DPR dan Presiden) untuk membentuk UU Asuransi Usaha Bersama dalam 2 tahun 6 bulan sejak putusan diucapkan.

  1. Partai Politik yang duduk di DPR saat ini Tak Perlu Lagi Verifikasi di Pemilu Berikutnya

MK dalam dalam Putusan No.55/PUU-XVIII/2020 memutus partai politik yang telah lolos verifikasi dalam Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, tetapi tidak diverifikasi secara faktual. Akan tetapi, partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan Partai Politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, harus dilakukan kembali verifikasi administrasi dan faktual. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru.

  1. Dinilai Cacat Formil, UU Cipta Kerja Diperbaiki dalam Jangka Waktu 2 tahun

Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan menentukan berlakunya UU itu maksimal 2 tahun sejak diputus pada 25 November 2021. MK memberi tenggang waktu selama 2 tahun bagi pembentuk UU untuk memperbaiki proses pembentukan UU Cipta Kerja. Bila tidak diperbaiki dalam tenggang waktu 2 tahun, UU Cipta Kerja dianggap inkonstitusional secara permanen.

Jika demikian, konsekuensinya pasal-pasal atau materi muatan sejumlah undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Dalam tenggang waktu 2 tahun itu pula menangguhkan segala tindakan/kebijakan Pemerintah yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja.

  1. BPR Bisa Beli Agunan Kredit Macet Nasabah

MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 12A ayat (1) UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Inti putusan ini menyatakan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat membeli sebagian atau seluruh agunan kredit macet nasabah. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai pada dasarnya BPR memiliki peran yang tidak jauh berbeda antara bank umum, bank umum Syariah, dan BPR Syariah dalam memberikan layanan di bidang keuangan kepada masyarakat. Sebab, dalam beberapa jenis usaha BPR umumnya memiliki kesamaan dengan bank umum yaitu meliputi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, memberikan kredit, dan menyediakan pembiayaan bagi nasabah.

Permohonan ini diajukan Pribadi yang mengalami kerugian dengan berlakunya frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan mengenai aturan yang hanya memperbolehkan bank umum mengambil alih agunan nasabah kredit macet. Pasal itu dinilai mengandung perlakuan diskriminatif, ketidakadilan karena  hanya bank umum yang dapat mengambil alih agunan nasabahnya melalui lelang untuk menyelesaikan masalah kredit macet nasabah.

  1.  Laporan Pencabulan Anak Kini Boleh Diwakilkan oleh Wali

Mahkamah Konstitusi memperluas subjek pengaduan kekerasan seksual kepada anak, melalui Putusan No.21/PUU-XIX/2021 menyatakan Pasal 293 ayat (2) KUHP yang mengatur prosedur pelaporan kasus pencabulan anak inkonstitusional. Permohonan ini dimohonkan oleh dua mahasiswa UKI yakni Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga. Sebelumnya dalam norma tersebut, laporan kasus pencabulan anak bersifat delik khusus, karena korban harus bertindak sebagai subjek pelapor dan tidak bisa diwakilkan. Kini, Pengaduan korban cabul anak dapat dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya. Dari delik aduan absolut jadi delik aduan relatif.

Dalam pertimbangannya, pencabulan tidak hanya menyasar orang dewasa tetapi juga anak di bawah umur. Aturan tersebut mewajibkan pelaporan menjadi persoalan. Sebab, faktor kedewasaan memiliki peran kemampuan membuat laporan, Sehingga MK mengubah sifat laporan menjadi delik aduan relatif. Dengan demikian, aduan tidak harus dilakukan korban, tetapi juga dapat dilakukan oleh orang tua, wali atau kuasanya.

  1. Putusan PKPU Bisa Ajukan Kasasi, Asalkan…

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terkait putusan PKPU tidak bisa diajukan upaya hukum apapun. Dalam putusan yang dibacakan, Rabu (15/12/2021), MK menyatakan Pasal  235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 inkonstitusional bersyarat. Artinya, putusan PKPU bisa diajukan upaya hukum kasasi dengan syarat bila putusan PKPU diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya hukum. Berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup dibuka satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat bawah.

Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali). Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor, maka hal tersebut tidak ada relevansinya lagi untuk dilakukan upaya hukum (kasasi, red).

  1.  Perluasan Penyidik dalam TPPU

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan uji materi Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Putusan dengan Nomor 15/PUU-XIX/2021 tersebut menyatakan frasa “penyidik pidana asal” dalam Pasal 74 UU TPPU memberikan pengertian dalam arti yang luas yaitu termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Putusan MK memberi kewenangan bagi PPNS guna menyidik tindak pidana asal sekaligus penyidikan TPPU. Aturan sebelumnya, kewenangan penyidikan tersebut dibatasi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

“Menyatakan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164) sepanjang kalimat “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Yang dimaksud dengan ‘penyidik tindak pidana asal’ adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan’,” demikian bunyi amar Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021.  

  1.  Masa Jabatan Kepala Desa Maksimal Tiga Periode

Mahkamah Konstitusi menetapkan batas maksimal jabatan kepala desa yakni tiga periode. Hal itu tertuang dalam Putusan MK No.42/PUU-XIX/2021 yang menyatakan penjelasan Pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa inkonstitusional bersyarat. Mahkamah menyatakan cara penghitungan paling banyak 3 kali masa jabatan kepala desa dalam Penjelasan Pasal 39 UU Desa.

Menurut Mahkamah, praktik atas ketentuan tersebut memunculkan kepala desa yang menjabat lebih dari 3 periode, yang merupakan prinsip utama pembatasan masa jabatan kepala desa yang dianut oleh UU 6/2014. Praktik tersebut dimungkinkan pula muncul berdasarkan pada undang-undang sebelum berlakunya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Keadaan ini rentan berakibat munculnya kesewenang-wenangan dan berbagai macam penyimpangan oleh kepala desa. Untuk menghindari hal ini, penghitungan periodeisasi masa jabatan kepala desa tidak hanya mendasarkan pada UU 32/2004. Artinya, bagi kepala desa yang sudah menjabat tiga periode, meskipun mendasarkan pada undang-undang yang berbeda, termasuk undang-undang sebelum berlakunya UU 6/2014, jika pernah menjabat selama 3 periode sudah terhitung 3 periode.

Tags:

Berita Terkait