Ini 5 Poin Pengaturan dalam RUU BUMN
Terbaru

Ini 5 Poin Pengaturan dalam RUU BUMN

Mulai menyoal status kekayaan negara, hingga pembentukan super holding.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Kedua, instrumen negara. Menurutnya, BUMN menjadi bagian aset negara yang dikelola pemerintah. Dia menilai dalam revisi UU 19/2003 bakal memilah antara BUMN masuk kategori PSO ataupun business judgement rules sebagai bisnis murni. Dengan begitu ada dua isu yang bakal diatur.

Karena itu, perlakuan pemerintah dalam mengelola government judgement rules semestinya berbeda. Seperti PT Kereta Api Indonesia. Menurutnya, sektor kereta api tak mungkin dikelola dengan business judgement rules jasa secara murni. Berbeda halnya dengan sektor perbankan yang mengharuskan dikelola secara business judgment rules.

Ketiga, hak imunitas. Pengaturan hak imunitas bagi direksi dan/atau komisaris. Dia berpendapat sepanjang direksi atau komisaris tidak berbuat atau bertindak di luar batas kewenangan yang tercantum dalam anggaran dasar perseroan atau dikenal ultra vires (tindakan di luar batas kewenangan, red), maka tak perlu adanya hak imunitas.

Mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) itu melanjutkan direksi dan komisaris dalam menjalankan perusahaan harus sesuai yang ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sebab, RUPS menjadi keputusan tertinggi dalam sebuah perseroan terbatas, kecuali adanya dugaan ultra vires. Tapi, kata Nusron, banyak BUMN masih menggunakan government judgement rules dalam menjalankan bisnis, sehingga tidak adanya ultra vires saat bisnisnya merugi. “Dia bisa dikategorikan menjadi kerugian negara.”

Keempat, terkait mutasi dalam rangka penyelamatan BUMN. Menurutnya, jumlah BUMN yang ada dari 144 menjadi 40 BUMN yang statusnya menjadi anak perusahaan. Masing-masing anak perusahaan menjadi entitas dan berdiri sendiri menjadi entitas yang berbeda. Politisi Partai Golkar itu berpandangan, opsi yang dapat ditempuh dalam revisi UU 19/2003 dengan memformat ulang pengelolaan BUMN.

“Menteri BUMN diatur sebagai pengelola BUMN dan kuasa perwakilan pemegang saham secara utuh. Dengan begitu, keputusan menyelamatkan perusahaan BUMN yang dalam kondisi di jurang kebangkrutan dapat segera ditangani.”

Kelima, pembentukan superholding. Menurutnya super holding nantinya dikelola dan dipimpin oleh seorang menteri. Namun menteri yang diamanatkan mengelola dan memimpin super holding diserahkan ke presiden. Sebab, pembentukan sebuah kementerian menjadi hak prerogatif presiden. Namun, kata Nusron, terdapat perdebatan soal pengelola dilakukan oleh Kementerian BUMN atau kementerian teknis.

“Saya kira menganggap masih lebih baik dikelola dalam bentuk kementerian BUMN daripada nanti dikelola pada kementerian teknis, seperti sebelumnya yang malah justru tidak terkonsolidasi,” kata dia.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof Didik J. Rachbini berpandangan idealnya kepentingan politik tak masuk dalam BUMN. Sebab, seberapapun bagusnya sebuah UU yang mengatur BUMN dicampuri kepentingan politik tak akan berjalan optimal. Karena itu, dia mendorong agar kepentingan politik tak masuk BUMN. “Jadi meskipun yang bikin UU malaikat, tapi perilakunya gabung sama politik dan BUMN, itu nggak ada artinya UU. Jangan berharap UU yang dibikin itu bisa menyelesaikan masalah BUMN,” katanya.

Tags:

Berita Terkait