Ini Alasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mesti Masuk Prolegnas 2016

Ini Alasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mesti Masuk Prolegnas 2016

Karena realitas kejahatan seksual secara kuantitas mengalami kenaikan. Oleh sebab itu diperlukan penanganan dan pemulihan yang komprehensif melalui payung hukum yang bersifat khusus.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kasus yang menimpa siswi  Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rejang Lebong Bengkulu, Yuyun berupa pemerkosaan disertai pembunuhan belakangan menjadi sorotan masyarakat. Meski telah ada hukum pidana, namun perlu aturan lain yang besifat lex spesialis terhadap tindak pidana tersebut. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai rancangan aturan yang bersifat khusus itu didorong agar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016. Dorongan itu datang dari Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI).

 

“Badan Legislasi (Baleg) perlu mempertimbangkan masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum untuk memperberat hukuman bagi predator seksual alias pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak,” ujar Sekjen KPP-RI, Irma Suryani Chaniago melalui keterangan tertulis, Sabtu (7/5).

 

Kasus yang menimpa Yuyun dan kasus serupa lainnya mesti menjadi pertimbangan Baleg untuk memasukan RUU tersebut ke dalam daftar Prolegnas prioritas. Merujuk data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sedikitnya tiap dua jam sebanyak 3 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual. Bahkan telah ditemukan sebanyak 15 bentuk kekerasan seksual. Nah sementara, hanya 3 diantaranya secara definitif  diatur dalam peraturan perundangan-undangan, meski delik dan unsur yang diatur masih terbatas.

 

Anggota Komisi IX itu berpandangan setiap perempuan dari berbagai umum rentan menjadi korban kekerasan seksual. Tak saja perempuan berusia balita, perempuan berusia senja dan anak jalanan kerap menjadi incaran pelaku kekerasan kejahatan seksual. “Sementara pelakunya juga harus diwaspadai bahkan di tempat yang seharusnya paling aman bagi anak-anak,” ujarnya.

 

Kepala Divisi Media dan Pengembangan Jaringan KPP-RI  Rahayu Saraswati Djojohadikusumo berpandangan peraturan yang ada dinilai tak mampu menjangkau spesifik delik terkait dengan kekerasan seksual. Bahkan belum menyediakan skema pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Dengan begitu perlu pengaturan secara khusus (lex spesialis). Tak hanya itu, penegakan hukum dengan hukum acara yang ada seringkali menimbulkan reviktimisasi, kriminalisasi maupun impunitas pelaku, karena persoalan pembuktian dan paradigma penegak hukum yang belum berperspektif korban.

 

Anggota Komisi VIII itu berpandangan desakan agar RUU tersebut masuk dalam Prolegnas karena beberapa alasan. Pertama, realitas kejahatan seksual secara kuantitas mengalami kenaikan dan tidak dapat ditolerir. Kedua, temuan Komnas Perempuan mengatakan bahwa terdapat 35 perempuan setiap hari mengalami kekerasan seksual. Oleh sebab itu  diperlukan penanganan dan pemulihan yang komprehensif melalui payung hukum yang khusus.

 

Ketiga, hukum dan sistem penanganan yang ada dinilai tidak mampu mengakomodir dalam aspek pencegahan, penanganan maupun penindakan terhadap pelakunya. Dengan begitu, hak-hak korban tak dapat dilindungi. Keempat, sistem hukum yang ada belum mampu mengikutsertakan pentingnya menciptakan  budaya melakukan pencegahan kekerasan seksual. Kelima, dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang khusus.

Tags:

Berita Terkait