Ini Dia Kisi-kisi RUU Minerba Teranyar
Utama

Ini Dia Kisi-kisi RUU Minerba Teranyar

Berdasarkan draf versi pemerintah per Januari 2016.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi usaha tambang batubara. Foto: greenpeace.org
Ilustrasi usaha tambang batubara. Foto: greenpeace.org
Pemerintah dan DPR sepakat untuk segera merampungkan pembahasan rancangan undang-undang tentang mineral dan batubara (RUU Minerba). Revisi atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba itu bahkan direncanakan akan diketuk palu pada bulan Juni mendatang. Baik pemerintah maupun DPR pun telah memiliki versi masing-masing draf untuk mendapat persetujuan bersama dalam sidang-sidang pembahasan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai representasi pemerintah dalam hal ini, telah memperbarui drafnya per Januari 2016. Berdasarkan naskah RUU versi pemerintah yang dimiliki hukumonline, terdapat 85 halaman yang mencakup 21 bab. Dari sejumlah itu, pengaturan di dalam RUU Minerba tersebut mencakup 132 pasal.

Di dalam bab 1 yang berisi ketentuan umum, dijelaskan definisi dari istilah-istilah penting yang digunakan dalam RUU. Ada 47 istilah yang dijelaskan secara detail pengertiannya. Selain penjabaran istilah, bab ini juga menjelaskan asas dan tujuan RUU.

Kemudian, bab 2 mengatur mengenai penguasaan minerba. Hanya ada dua pasal di dalam bab ini, yang pada intinya merinci agar minerba sebagai sumber daya alam tak terbarukan dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Detail mengenai hal itu dijabarkan lebih lanjut di dalam bab 3 tentang kewenangan pengelolaan minerba.

Ada dua pihak yang memiliki wewenangan untuk mengelola minerba. Keduanya adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah di tingkat provinsi. Masing-masing memiliki kewenangan berbeda terkait penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan minerba.

Pemerintah pusat memiliki 22 jenis kewenangan mulai dari menetapkan kebijakan minerba nasional sampai meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah di tingkat pusat maupun provinsi dalam pengelolaan usaha pertambangan. Sementara, pemerintah provinsi hanya memiliki sembilan kewenangan terkait hal itu.

Selanjutnya, bab 4 membahas mengenai wilayah pertambangan. Ada empat jenis wilayah pertambangan yang diatur di dalam ketentuan ini, yakni wilayah usaha pertambangan (WUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR), wilayah pencadangan negara (WPN), dan wilayah usaha pertambangan khusus (WUPK).

Sementara itu, pengaturan mengenai usaha pertambangan terdapat di dalam bab 5. Ada dua jenis pengelompokan usaha pertambangan yang diatur, pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Kemudian, usaha pertambangan mineral dibagi menjadi lima kelompok mencakup mineral radioaktif, mineral logam, mineral bukan logam, mineral tanah jarang, dan batuan.

Untuk melaksanakan usaha pertambangan itu, ada tiga jenis perizinan yang harus diurus, izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Ketentuan mengenai IUP diatur khusus dalam bab 6 sedangkan IPR diatur dalam bab 7 dan IUPK termuat dalam bab 8. Para pemegang izin terikat dalam aturan mengenai hak dan kewajiban yang dimuat pasal 9.

Bab 10 secara rinci mengatur mekanisme peningkatan nilai tambah minerba. Mulai dari upaya peningkatan nilai tambah yang wajib dilakukan pemegang IUP dan IUPK, hak yang didapatkan bagi yang telah melakukannya, hingga kemungkinan kerja sama yang diperbolehkan dalam melakukan operasi produksi. Ketentuan mengenai hal ini termuat dalam tiga pasal.

Masalah divestasi saham diatur dalam bab 11 yang hanya memuat satu pasal. Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham memang diamanatkan untuk diatur di dalam peraturan pemerintah. Termasuk, besaran, klasifikasi, waktu, dan tata cara yang harus dilakukan.

Bab 12 mengatur mengenai pendapatan negara dan daerah. Sebab, pemegang IUP dan IUPK wajib membayar pendapatan ini. Ada 7 pasal yang memuat ketentuan mengenai pendapatan negara dan daerah baik berupa pajak maupun non-pajak.

Bab 13 yang terdiri dari 3 pasal mengatur tentang usaha jasa pertambangan. Lima pasal dalam bab 14 memuat ketentuan mengenai penggunaan tanah untuk kegiatan usaha pertambangan. Bab 15 berisi aturan mengenai pembinaan, pengawasan, dan perlindungan masyarakat.

Bab 17 memuat sanksi administratif yang mengancam 32 pasal di dalam RUU. Bab 18 memuat sanksi pidana dengan 11 jenis ancaman pidana. Bab 19 berisi ketentuan lain-lain yang mengatur bahwa masalah yang timbul dalam pelaksanaan IUP, IPR, dan IUPK diselesaikan menurut aturan perundang-undangan.

Bab terakhir, memuat ketentuan peralihan yang menyebutkan bahwa kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan batubara (PKPB) yang telah ada sebelum berlakunya RUU tersebut wajib disesuaikan paling lambat satu tahun setelah UU disahkan. Sementara itu, permohonan harus diajukan sejak UU disahkan. Sementara itu, jangka waktu IUPK Eksplorasi atau IUPK Operasi Produksi yang berlaku sebelum UU disahkan sesuai dengan jangka waktu dalam KK dan PKPB.

Adapun kewajiban pemurnian seluruh hasil produksi bagi pemegang KK yang mengusahakan mineral tembaga wajib dilakukan paling lambat 5 tahun sejak UU disahkan. Sementara itu, penjualan ke luar negei juga boleh dilakukan setelah 5 tahun UU berlaku bagi pemegang IUP Operasi Produksi yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral dan melakukan kegiatan pengolahan pasir besi, bijih besi, timbal, dan seng.

Tags:

Berita Terkait