Ini Perbandingan UU Minerba dan Rancangan Revisinya
Utama

Ini Perbandingan UU Minerba dan Rancangan Revisinya

Ada beberapa ketentuan yang sama, tak sedikit pula yang berbeda.

Oleh:
KARTINI LARAS MAKMUR
Bacaan 2 Menit
Foto: greenpeace.org
Foto: greenpeace.org
Pada tanggal 25 Januari 2016 lalu, pemerintah menyerahkan draf Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Mineral dan Batubara. Draf ini kemudian menuai banyak kecaman dari para aktivis lembaga swadaya masyarakat. Berikut ini beberapa perbandingan antara UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dengan RUU Minerba tersebut.

Pihak Berwenang
Di dalam UU yang kini berlaku, ada tiga pihak yang berwenang melakukan pengelolaan pertambangan minerba. Menurut Pasal 6, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk penetapan kebijakan nasional, legislasi, penetapan standar nasional, pedoman dan kriteria, penetapan sistem perizinan nasional, penetapan WP, dan pemberian IUP yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai.

Pemerintah daerah dibagi kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan keduanya terbatas pada lingkup wilayah masing-masing. Artinya, pengelolaan pertambangan di wilayah provinsi ataupun lintas kota/kabupaten menjadi wewenang pemerintah provinsi. Sedangkan pengelolaan di wilayah kota/kabupaten menjadi wewenang pemerintah kota/kabupaten.

Sementara itu, di dalam RUU Minerba versi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya ada dua pihak yang memiliki wewenang dalam mengelola pertambangan minerba. Pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota tidak lagi memiliki kewenangan dalam pengelolaan pertambangan minerba. Di dalam Pasal 7 RUU Minerba, pemerintah provinsi juga berwenang menetapkan harga patokan mineral bukan logam dan batubara.

Perizinan
Dalam UU Minerba saat ini, ada tiga jenis perizinan usaha tambang. Ketiganya adalah izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), dan izin  pertambangan khusus (IPK). IUP terdiri dari IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi.

Pada dasarnya, ketentuan mengenai perizinan antara UU Mineral dengan RUU Mineral tak jauh berbeda. Hanya saja, terkait dengan luas wilayah keberlakuan izin ada sedikit perbedaan. Di antaranya, wilayah izih usaha produksi (WIUP) eksplorasi batuan di dalam Pasal 58 Minerba hanya diatur general bahwa paling sedikit 5 hektare dan paling banyak 5000 hektare. Sementara itu, di dalam RUU Minerba diatur lebih rinci dengan klasifikasi mineral logam dan bukan logam. Pembatasan wilayah paling sedikit untuk kedua jenis minerba tersebut tak diatur. Sedangkan batas maksimal mineral bukan logam paling banyak 25000 hektare, batuan paling banyak 5000 dan untuk jenis batuan tertentu maksimal 1000 hektare.

Hilirisasi
Ketentuan mengenai peningkatan nilai tambah di dalam UU Minerba tak diatur rinci. Hanya ada ketentuan Pasal 102 yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Sementara itu, Pasal 103 mengamanatkan agar ketentuan lebih lanjut mengenai hal itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah.

RUU Minerba mengatur cukup detail mengenai ketentuan peningkatan nilai tambah di dalam satu bab tersendiri, yakni Bab X. Pasal 76 menyebutkan ada enam jenis peningkatan nilai tambah minerba yang harus dilakukan oleh para pemegang IUP dan IUPK. Keenamnya adalah pengolahan mineral logam, pengolahan dan pemurnian mineral logam, pengolahan mineral bukan logam, pengolahan batuan, pengolahan batubara, dan pemanfaatan batubara.

Selain menyebutkan jenis peningkatan nilai tambah itu, diatur pula secara eksplisit bahwa pemegang IUP dan IUPK yang telah dan akan melaksanakan peningkatan nilai tambah itu berhak mendapatkan insentif fiskal dan non-fiskal dari pemerintah. Akan tetapi, pelaksanaan kewajiban hilirisasi tersebut baru berlaku 5 tahun setelah RUU MInerba disahkan. Jika sesuai dengan rencana, DPR dan Pemerintah sepakat menargetkan pengesahan RUU tersebut pada bulan Juni tahun ini. Artinya, ketentuan itu baru berlaku pada tahun 2021 mendatang.

Tags:

Berita Terkait