Ini Rekomendasi APINDO tentang Outsourcing
Berita

Ini Rekomendasi APINDO tentang Outsourcing

Perusahaan outsourcing diminta untuk berbenah diri agar lebih profesional.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ini Rekomendasi APINDO tentang <i>Outsourcing</i>
Hukumonline

Penggunaan tenaga alih daya (outsourcing)  di perusahaan masih menjadi perdebatan di kalangan buruh dan pengusaha. Pekerja menilai outsourcing merugikan dan tak memberikan jaminan pekerjaan sementara pengusaha berpendapat tenaga alih daya diperlukan guna melengkapi pekerjaan yang sesungguhnya bukan bagian inti dari perusahaan. Pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk menata tenaga alih daya.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencoba mencari jalan keluar agar pengusaha dan pekerja tak melulu ribut mengenai tenaga alih daya. Melalui The First Business Process Outsourcing Indonesia Convention 2013 yang mengangkat tema "Smart Outsourcing Strategy for Industrial Relations Peace", Apindo menggelar sebuah diskusi guna merefleksikan fikir, laku dan sikap dalam rangka mencari jawaban atas objektivitas permasalahan tenaga alih daya setelah Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain terbit.

Apindo menelaah payung hukum outsourcing seiringnya terbitnya Permenakertrans No. 19 Tahun 2012. Juga memfasilitasi asosiasi sektor usaha untuk menentukan ruang lingkup jenis kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan memfasilitasi asosiasi sektor usaha, dunia usaha dan pelaku outsourcing untuk membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha.

"Setelah melakukan convention selama empat hari di Yogyakarta dari tanggal 2-5 April 2013, maka secara garis besar ada dua rekomendasi," kata Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi pada konferensi pers di Jakarta, Rabu (10/4).

Rekomendasi terkait outsourcing dibagi atas dua bagian yakni kerangka rekomendasi utama dan kerangka rekomendasi teknis. Dalam kerangka rekomendasi utama, Apindo memasukkan lima bagian dari rekomendasi. Pertama, pengawasan ketat ketenagakerjaan atas praktik alih daya, baik labour supply maupun job supply merupakan solusi dalam permasalahan ini yang memerlukan standar regulasi ditingkat pusat dan daerah. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sebagai lembaga pemerintah diminta segera membentuk dan mendeklarasikan sebuah Komite Pengawas Ketenagakerjaan dan Tugas Pokok dan Key Performance Indikator (KPI) yang terukur jelas.

Menurut Sofjan, persoalan perlindungan tenaga kerja terkait proses alih daya harus menerapkan konsep persamaan hal dasar seperti jaminan sosial dan hak-hak buruh.

Kedua, pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memiliki peran yang kuat, sistematis dan berkeadilan dalam pengimplementasian sistem alih daya ini. Apindo menilai, Permenakertrans Outsoucing sebagai bukti kurangnya keseriusan pemerintah dalam melakukan kajian komprehensif dalam menanggapi praktik sistem kerja alih daya. Atas dasar itu, lanjut Sofjan, dibutuhkan pedoman atas regulasi tersebut yang mampu menjawab atas praktik terbaik dalam implementasinya.

Tags:

Berita Terkait