Ini Rekomendasi Bareskrim dan KPAI dalam Penanganan Perkara Kekerasan Anak
Berita

Ini Rekomendasi Bareskrim dan KPAI dalam Penanganan Perkara Kekerasan Anak

Perlu adanya penguatan peran keluarga dan nilai-nilai agama, hingga pemahaman terhadap kapasitas persepsi aparat penegak hukum dalam pencegahan dan penanganan anak.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. BAS
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. BAS
Data kekerasan terhadap anak kian tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dikantongi Bareskrim, pada periode 2014 ada 382 perkara. Sedangkan 2015 sebanyak 574 perkara. Kemudian, di pertengahan 2016 tercatat ada 26 kasus. Jumlah itu belum termasuk di seluruh wilayah Indonesia.

“Jadi trennya memang data kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun mengalami kenaikan,” ujar Kabareskrim Komjen Anang Iskandar, dalam rapat gabungan dengan sejumlah instansi di Komisi VIII DPR, Senin (30/5).

Menurut Anang, penanganan perkara kekerasan terhadap anak mesti diprioritaskan pada level pencegahan. Sebab, bila dilakukan penindakan maka semua pihak bakal mengalami kerugian. Tak saja korban, pelaku dan penegak hukum pun mengalami kerugian. Negara juga harus membiayai penanganan perkara. Berdasarkan kajian Bareskrim, sumber permasalahan berada di keluarga. Menurutnya, ketika keluarga tertata dengan baik dengan pondasi nilai-nilai agama maka pendidikan anak akan berjalan baik.

Jenderal polisi bintang tiga ini pun memberikan rekomendasi. Pertama, meningkatkan peran serta masyarakat. Hal ini dikarenakan permasalahan yang adaselama ini dibebankan semata kepada penegak hukum. Hal itu tidak berbanding dengan banyaknya perkara yang mencuat ke publik. Oleh sebab itu, peran serta masyarakat harus dilibatkan  dalam meningkatkan pencegahan kekerasan terhadap anak. Caranya, dengan memberdayakan jaringan lokal maupun nasional dengan melakukan update informasi mengenai potensi masyarakat.

Kedua, pemenuhan kebutuhan saran dan prasarana. Seperti panti, rumah aman yang dapat memberikan rehabilitasi bagi korban kekerasan untuk memberdayakan penanganan kasus anak. Sarana yang ada memang terbatas. Ujungnya, rehabilitasi pun ditempatkan di Lapas. “Ini masalah kita,” ujarnya.

Ketiga, pemahaman terhadap kapasitas persepsi aparat penegak hukum dalam pencegahan dan penanganan anak yang sensitif perlu didalami. Ia khawatir bila tidak diubah, maka penanganan perkara anak disamaratakan dengan penjahat umum lainnya. Padahal, pimpinan Polri sudah mewanti-wanti terkait dengan masalah gender dan anak mesti ditangani secara khusus, tidak menggunakan cara yang umum.

Keempat, membuat Standar Operasional Prosedur (SOP). Menurutnya, SOP terkait dengan mekanisme sistem rujukan, standar lembaga layanan serta model kasus terkait dalam penanganan perkara anak. Tak kalah penting, melakukan realisasi kebijakan SOP tersebut di masing-masing instansi.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Sholeh, mengatakan sejumlah kasus kekerasan terhadap anak mendorong masyarakat untuk melaporkan kepada penegak hukum dan lembaganya. Hal itu ditandai dengan banyaknya laporan ke lembaganya. Menurutnya, UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, memiliki semangat pencegahan. Namun sayangnya, praktik di lapangan hukuman terhadap pelaku dewasa dalam kasus kekerasan anak kurang maksimal.

Asrorun memberikan jalan keluar dalam mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak. Pertama, solusi berbasis norma dan kebijakan. Mulai dengan mereview Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Pasalnya, meski Perppu tersebut mengatur pemberatan sanksi hukuman, namun hanya mampu menjawab permasalahan di hilir.

Tak hanya itu, politik anggaran menurutnya juga belum maksimal. Oleh sebab itu, perlu dukungan dari parlemen dan pemerintah dalam politik anggaran dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Kemudian, integrasidan sinergi program di bawah koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Kedua, pembangunan kesadaran masyarakat dan penegak hukum terkait dengan pola pencegahan terhadap kekerasan terhadap anak. Ketiga, pendekatan rehabilitasi terhadap korban anak dan dewasa. Tak kalah penting, penguatan terhadap ketahanan keluarga secara umum. Keempat, pendekatan kelembagaan perlindungan anak dan pengawasan di daerah. “Kelima, pendekatan penceganan berbasis informasi dan teknologi,” ujarnya.

Anggota Komisi VIII DPR, Maman Imanul Haq, berpandangan Perppu yang dibentuk pemerintah tak menyebut rehabilitasi terhadap pelaku. Menurutnya, negara telah gagal dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Padahal, selain melakukan rehabilitasi terhadap korban, pelaku pun harus direhab dengan penanganan khusus. Ironisnya, keberpihakan Polri terhadap korban pun dipertanyakan.
Tags:

Berita Terkait