Kendati memiliki definisi berbeda, pada dasarnya syarat pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) maupun pailit merupakan bentuk dari implikasi hukum yang sama (Pasal 222 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU). PKPU bertujuan agar debitur dapat mengajukan rencana perdamaian—meliputi penawaran skema pembayaran sebagian atau keseluruhan; sementara kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan debitur pailit, di mana kepengurusan dan pemberesan akan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Baik bagi debitur maupun kreditur, proses PKPU dapat memberikan kepastian hukum, seperti kejelasan waktu sehubungan dengan restrukturisasi utang. Terdapat koridor waktu maksimal 270 hari setelah dikabulkannya permohonan PKPU, yang dapat digunakan oleh kreditur dan debitur untuk melakukan restrukturisasi dan penyelesaian utang.
Hanya saja, ada akibat hukum yang berbeda dalam proses PKPU dan pailit. Dalam PKPU, debitur masih dapat melakukan kelangsungan usahanya, dengan persetujuan pengurus PKPU, tetapi debitur tidak dapat melakukan pembayaran utang kepada kreditur, kecuali untuk kepentingan operasional dari debitur; di mana kreditur tidak dapat melaksanakan eksekusi untuk memperoleh pelunasan utang. Debitur baru dapat melakukan pembayaran atas utang, setelah proposal perdamaian disetujui pengadilan.
Sementara itu, akibat hukum dalam kepailitan mengakibatkan debitur tidak dapat menjalankan kelangsungan usaha, karena sudah kehilangan haknya dalam mengurus kekayaannya. Jadi, seluruh pengurusan dan pemberesan akan dialihkan pada kurator.
Tantangan PKPU dan Pailit
Partner di Kantor Hukum Altruist Lawyers, Bosni Gondo Wibowo mengungkapkan, permohonan PKPU dapat ditempuh sebagai mekanisme paling efektif, karena jauh lebih cepat, jelas jangka waktunya, memiliki kepastian tinggi. Namun, baik itu proses PKPU maupun pailit bukanlah tanpa tantangan.
Keterbatasan sumber daya menjadi tantangan pertama. Hal ini karena proses penyelesaian PKPU dan pailit sering kali melibatkan banyak pihak, termasuk kreditur, debitur, maupun pihak terkait lainnya. Keterbatasan sumber daya seperti waktu, tenaga, dan dana dapat menjadi hambatan dalam menghadapi proses yang kompleks ini.
Tantangan kedua, perseteruan dan konflik kepentingan. Tidak jarang ditemukan perseteruan dan konflik kepentingan antara kreditur, debitur, dan pihak-pihak lain. Biasanya, konflik terjadi karena ada ketidaksepakatan mengenai penyelesaian utang, pembagian aset, serta kebijakan lainnya yang memperlambat proses dan menyulitkan pencapaian kesepakatan.