Selama ini Indonesia terikat dengan beragam perjanjian internasional terkait perdagangan global. Mengingat dinamika usaha perdagangan global sangat dinamis dan menyangkut lintas batas negara, maka diperlukan regulasi hukum keperdataan dan niaga (komersial) yang mampu mengakomodir kebutuhan itu. Salah satu yang tengah digagas Pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI).
Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, Tudiono, menerangkan proses penyusunan draft RUU sudah diinisiasi sejak tahun 1980, tapi prosesnya berliku dan panjang, sehingga belum selesai. Tahun 2021 ini, kata dia, Pemerintah kembali menyusun draft RUU dengan membentuk Tim yang anggotanya lintas kementerian/lembaga.
“Targetnya draf selesai tahun 2021. Diupayakan dapat masuk Prolegnas Prioritas 2022 untuk segera dibahas dan disahkan,” kata Tudiono dalam diskusi secara daring bertema “Sarasehan III: Penguatan Instrumen Hukum Perdata dan Komersial Lintas Negara Sebagai Modalitas Diplomasi Ekonomi Dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Indonesia”, Kamis (25/2/2021). (Baca Juga: Mengintip Substansi RUU Hukum Perdata Internasional)
Tudiono mengatakan RUU HPI merupakan regulasi penting untuk kalangan dunia usaha. RUU HPI ini kelak akan menggantikan Pasal 16, 17, dan 18 Algemene Bepalingen (AB) yang merupakan produk hukum warisan pemerintahan kolonial Belanda. RUU ini akan mengatur berbagai hal terkait keperdataan dan niaga, salah satunya mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing.
“Aturan ini akan sangat penting karena menjadi UU pertama yang mengatur keperdataan secara trans nasional,” kata dia.
Selain itu, penting meningkatkan kapasitas lembaga peradilan, seperti peningkatan hakim, akuntabilitas dan kredibilitas pengadilan juga diperlukan untuk kepercayaan publik. Ini penting agar masyarakat, terutama di daerah perbatasan tertarik untuk menggunakan hukum Indonesia dalam menyelesaikan sengketanya. Praktiknya, selama ini masyarakat yang ada di daerah perbatasan kerap menggunakan hukum negara lain dalam membuat perjanjian.
Ketua Kamar Perdata MA, I Gusti Agung Sumantha, mengatakan lembaga pengadilan merupakan pihak yang penting terkait pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing dan bantuan timbal balik dalam masalah perdata komersial lintas negara. Kedua isu tersebut perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
Perdagangan global akan membawa kesejahteraan konsumen dalam bentuk harga yang kompetitif, kualitas baik, penciptaan lapangan kerja, dan inovasi. Hal ini tidak dapat tercapai tanpa didukung sistem hukum yang baik termasuk dalam penyelesaian sengketa dalam rangka memberikan kepastian hukum. “Pembangunan hukum nasional perlu mencermati praktik terbaik hukum internasional,” kata dia dalam kesempatan yang sama.
Menurut I Gusti, peraturan di Indonesia belum memungkinkan untuk melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan asing sebagaimana diatur Pasal 436 Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv). Untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing biasanya harus melalui putusan pengadilan Indonesia.
Dia menerangkan eksekusi putusan pengadilan asing ini perlu diatur lebih lanjut, misalnya hanya untuk putusan pengadilan yang berwenang dan telah melalui due process of law secara benar. Kemudian putusan pengadilan asing itu harus berkekuatan hukum tetap, hanya mencakup putusan bidang perdata dan komersial sebagaimana ditentukan konvensi internasional dan hukum Indonesia.
Gusti melihat tren global pengadilan di berbagai dunia yakni membuka diri untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan pilihan hukum (choice of law). Orientasi pengadilan bergeser dari nasional menjadi internasional. Misalnya, Singapura memiliki pengadilan dan arbitrase internasional, begitu juga Dubai, dan Belanda. “Bahkan pengadilan internasional itu bisa memanggil hakim asing untuk duduk menjadi majelis,” kata I Gusti.
Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Damos Dumoli Agusman, mengatakan melalui RUU HPI pemerintah ingin memperlkuat ketentuan mengenai hukum perdata internasional. RUU HPI tepat untuk mendorong Indonesia mencapai pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Meski demikian, dia mengakui tidak mudah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU ini.
“Secara politik tidak mudah, tapi dari kalangan praktisi dan akademisi punya kepedulian tinggi terhadap RUU ini,” kata Damos.
Dalam kesempatan sebelumnya, Tudiono menerangkan RUU HPI dibutuhkan untuk mendukung usaha kreatif di pasar global akibat penggunaan media teknologi serta meningkatkan angka investasi asing karena adanya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa.
Selain isu lama seperti kepastian hukum terkait pilihan hukum (choice of law), pilihan yurisdiksi (choice of jurisdiction), dan pengakuan terhadap putusan pengadilan asing (recognition and enforcement of foreign legal judgments), masih banyak hal lain yang mungkin belum diketahui publik terkait substansi RUU HPI.
Misalnya, RUU ini nantinya mengatur subjek hukum orang pribadi dan subjek hukum badan. Untuk subjek hukum orang pribadi, RUU HPI akan mengatur hal-hal dari aspek dalam kandungan dan kelahiran; anak-anak, dewasa (kompetensi, hak, status dan kewenangan), perkawinan, dan meninggal.
Aspek orang pribadi dalam kandungan dan kelahiran nantinya mengatur terkait munculnya hak waris dalam kandungan, ayah ibu yang berbeda warga negara, serta dual kewarganegaraan. Sementara terkait anak, hal yang akan diatur dalam HPI berkaitan dengan ketentuan adopsi anak, berhak atas harta kekayaan meski melalui wali, serta ketentuan mengadakan perikatan/perjanjian melalui wali.
Sementara untuk dewasa, RUU HPI akan mengatur ketentuan terkait pemilihan kewarganegaraan, syarat kedewasaan dengan memperhatikan UU Imigrasi, UU Perkawinan, UUPA, serta KUH Perdata. Juga akan mengatur mengenai harta kekayaan di luar negeri, perikatan/perjanjian dengan warga negara asing, serta kepailitan.
Salah satu yang juga penting dari RUU HPI ini ketentuan mengenai perkawinan. RUU HPI akan mengatur ketentuan terkait hak dan kewajiban suami istri, hak dan kewajiban orang tua dan anak, kewenangan memiliki aset, perceraian, harta gono gini, serta contoh perjanjian perkawinan ataupun penetapan pemisahan harta.
Sementara terkait kematian dalam RUU HPI akan mengatur terkait wasiat, warisan, harta di luar negeri, keturunan merupakan warga negara asing, serta hak pewarisan bagi anak yang diakui/ anak sah.
Terkait subjek hukum badan dalam RUU HPI nantinya diatur mulai dari pendirian, operasional, kepailitan hingga likuidasi. Dalam pendirian subjek hukum badan, aspek-aspeknya antara lain mengenai badan usaha non badan hukum, badan hukum, maupun kepemilikan saham campuran (PMA/nominee asing).
Terkait operasional badan hukum, RUU HPI akan mengatur terkait perizinan dalam maupun luar negeri; pembukaan cabang dalam maupun luar negeri; perikatan/perjanjian dengan warga negara asing atau badan asing (kerja sama, investasi, aset, merger, akuisisi, konsolidasi); kewenangan/relasi antar organ yang memiliki elemen asing; kewenangan organ ketika berhadapan dengan pihak ke-3; pengadilan dan atau forum yang berwenang.
Sementara terkait kepailitan, hal-hal yang akan diatur oleh RUU HPI adalah mengenai cross border insolvensi, aset di luar negeri, aset badan asing di dalam negeri, piutang di luar negeri atau piutang asing, tenaga kerja asing atau tenaga kerja di negara lain, serta perpajakan.
Untuk likuidasi, hal-hal yang akan diatur dalam RUU HPI adalah terkait pemberesan aset luar negeri; pemberesan aset badan asing di dalam negeri; tenaga kerja asing atau tenaga kerja di negara lain; perpajakan; pembubaran dan bagaimana efeknya jika ada cabang di luar negeri; dan daluarsa.
Menurut Tudiono, saat ini terdapat sejumlah Undang-Undang sektoral yang pemberlakuannya tidak efektif akibat ketiadaan RUU HPI. Ia menyebutkan contoh Pasal 18 UU ITE jo PP No.80 Tahun 2019 yang mengatur kewenangan para pihak memilih hukum yang berlaku dan forum penyelesaian sengketa bagi e-commerce internasional yang dibuatnya. “Hukum dan asas HPI mana yang akan digunakan? Bagaimana pasal tersebut bisa ekektif tanpa adanya UU HPI?”
Selain itu, dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengatur tenaga kerja asing merupakan WNA yang bekerja di wilayah Indonesia. Namun, apabila ada sengketa terkait hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja yang bersifat transnasional, belum diatur terkait pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa.
Demikian pula dalam hal sengketa pailit dan persaingan usaha yang bersifat transnasional. Putusan pengadilan Indonesia tidak dapat berlaku di negara lain atau sebaliknya karena tidak dapat diterapkan adanya asas recognition and enforcement foreign judgment. Terkait ini, dengan alasan kepastian hukum para pelaku seringkali lebih memilih penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase (berbiaya mahal).
“Apakah arbitrase menguntungkan untuk usaha mikro kecil dan menengah? Lalu bagaimana dengan usaha kecil/keluarga yang berada di perbatasan, apakah arbitrase menjadi pilihan favorit?”