Integritas Pertahanan Indonesia Dinilai Belum Transparan dan Akuntabel
Terbaru

Integritas Pertahanan Indonesia Dinilai Belum Transparan dan Akuntabel

Masuk kategori D, beresiko tinggi terjadinya korupsi. Terdapat lima indikator, seperti risiko politik dan kebijakan, hingga risiko pengadaan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Keempat, risiko operasi militer. Menurutnya, sebagai penyumbang operasi perdamaian PBB, Indonesia belum memiliki langkah pencegahan anti-korupsi yang kuat. Ironisnya, doktrin militer tidak membahas korupsi sebagai isu strategis untuk operasi. Selain itu, para personil tidak dilengkapi instrumen monitoring dan evaluasi dalam mendeteksi dan mengurangi risiko korupsi di lingkungan operasional, terutama di posisi yang rentan seperti pengadaan.

Kelima, risiko pengadaan. Menurutnya, pengadaan logistik pertahanan sebagian besar bersifat single source dan pemilihan prosedur pengadaan tidak dinilai oleh badan pengawasan eksternal. Alhasil berpotensi meningkatkan risiko korupsi dalam prosesnya. Kemudian, kewajiban pemenuhan kontrak offset berjalan sangat tidak transparan. Malahan terdapat sedikit penilaian terhadap dampak dari kesepakatan pengadaan tersebut pada industri pertahanan nasional.

Sementara kualitas transparansi pengadaan cukup rendah. Seperti rincian kontrak tidak tersedia untuk umum dan pembelian kerap tidak diungkapkan. Tak hanya itu, sebagian besar akuisisi tidak dimasukkan dalam portal pengadaan umum karena hanya dilakukan melalui pemberian langsung atau tender terbatas. “Pengawasan parlemen sangat terbatas pada proses pengadaan secara keseluruhan,” katanya.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf mengamini hasil penilaian TII. Menurutnya, situasi sektor pertahanan memiliki risiko tinggi terjadi korupsi yang penting diawasi publik karena nilai anggaran di sektor pertahanan sangat tinggi. Selain itu, dalih kerahasiaannya di sektor pertahanan menjadi sarana pergumulan koneksi politik dalam memperebutkan kepentingan sumber pendanaan.

Selain itu, ada dugaan publik adanya pola permainan anggaran pertahanan antara legislatif dengan pemerintah cukup tinggi. Dampaknya, tidak adanya optimalisasi penggunaan anggaran di sektor pertahanan. Bagi Al Araf, dugaan tersebut sudah menjadi rahasia publik yang memahami transaksi penyusunan anggaran di sektor pertahanan.

“Karena dalih kerahasiaan ini menjadi bancakan politik. Tak heran transparansi sektor pertahanan selalu mengalami kondisi high risk. Jadi apa yang disampaikan TII saya setuju. Peningkatan anggaran tidak berkorelasi dengan peningkatan kualitas sistem persenjataan,” kata dia.

Mantan Direktur Eksekutif Imparsial itu berpendapat, peningkatan anggaran tanpa transparansi sektor pertahanan tak akan berdampak terhadap moderasi alutsista. Dia melihat Kementerian Pertahanan (Kemhan) setiap tahun mengalami penambahan anggaran untuk alutsista. “Tapi kalau tidak transparan, Kemhan sejatinya tidak beranjak kemana-mana. Jadi saya setuju peningkatan anggaran, tapi harus transparan,” katanya.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Curie Maharani Savitri menambahkan, anggaran di sektor pertahanan semestinya tidak rahasia, tapi transparan ke publik, meski tak sampai satuan tiga. Informasi yang bersifat rahasia, seperti doktrin yang spesifik maupun strategi operasi di lapangan. “Yang belum terbuka, bagaimana cara kita melakukan pengerahan pasukan saat konflik terbuka?” sindirnya.

Tags:

Berita Terkait