Restorative Justice, Alternatif Baru Sistem Pemidanaan
Utama

Restorative Justice, Alternatif Baru Sistem Pemidanaan

Dari 300 napi yang diwawancarai, lebih dari 30 persen menganggap pembinaan dalam LP tidak bermanfaat. Penempatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan justeru menimbulkan korban baru. Mengapa?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
<i>Restorative Justice</i>, Alternatif Baru Sistem Pemidanaan
Hukumonline

Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Muhammad Mustofa menegaskan bahwa Restorative Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat.

Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya.

Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya.

Toh, diakui Adrianus, penerapannya tidak gampang. Kalau hanya diterapkan di lingkungan Lapas, hasilnya tidak akan maksimal. Jadi, kata Adrianus, model restoratif harus dimulai dari kepolisian, saat pertama kali perkara disidik. Di kejaksaan dan pengadilan pun demikian.

Satu hal lagi yang sulit adalah memulihkan derita korban, baik fisik maupun psikis. Kerugian materiil mungkin bisa digantikan pelaku. Tetapi bagaimana dengan derita psikis, misalnya akibat pemerkosaan?

Hasil studi

Gagasan tentang Restorative Justice tidak muncul begitu saja. Itu didahului sebuah penelitian terhadap 300 narapidana di tiga lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.

Dari 300 responden, sebagian besar memang menganggap pembinaan yang mereka dapat di Lapas bermanfaat untuk bekal hidup mereka nanti setelah bebas. Penjara membuat banyak napi sadar dan tobat. Berarti sistem pemidanaan model pemasyarakatan (UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan) bisa dianggap berhasil? Tunggu dulu!

Hasil penelitian mencatat sebanyak 31,7 persen responden berpendapat sebaliknya, sistem pemidanaan di Lapas tidak bermanfaat. Kalaupun ada keterampilan, setelah keluar belum tentu diterima masyarakat. Angka ini tentu cukup signifikan. Tidak aneh kalau dari hasil penelitian itu, masih ada napi yang berkeinginan melakukan kembali tindak pidana yang membuat ia masuk Lapas.

Melihat masalah dan hasil studi itulah, lantas muncul gagasan Restorative Justice. Gagasan semacam ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan.

Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia bekerja sama  dengan AusAid mengkaji implementasi program pembinaan narapidana selama ini di Indonesia. Hasilnya? Penting untuk mempertimbangkan pemberlakuan restorative justice atau restoraitve punishment.

Menurut kriminolog Adrianus Meliala, model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).

Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama.

Sebaliknya, pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik. Menurut Adrianus, pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya.

Tags: