Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum
Fokus

Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum

Meski KUHAP membolehkan jaksa memisahkan berkas perkara. Namun prakteknya berpotensi terjadi pelanggaran azas hukum dalam proses pembuktian.

Oleh:
Mon/Ali
Bacaan 2 Menit

 

Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 142 KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.

 

Apalagi, biasanya ada terdakwa baru  dalam kasus yang sama diajukan ke pengadilan setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Otomatis terdakwa baru itu pasti dihukum. Sebab dalam putusan itu, terdakwa lama sudah dinyatakan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan terdakwa baru.  

 

Di satu sisi splitsing perkara memang dibenarkan oleh undang-undang. Namun disisi lain, pemisahan itu kerap menimbulkan masalah. Berdasarkan wawancara hukumonline kepada ahli hukum, ada tiga problem yang mencuat dalam pemisahan perkara. Pertama perbedaan penerapan hukum, pelanggaran azas non self incrimination dan praduga tak bersalah dan kaburnya unsur deelneming.

 

Deelneming

Menurut ahli hukum acara pidana, Chairul Huda splitsing di Pengadilan Tipikor tidak tepat. Bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya, tegasnya. Sebab, lanjutnya, pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan tidak terbukti.

 

Hal senada juga disampaikan oleh Rudy Satrio, ahli hukum pidana Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku, terangnya.

 

Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang dilakukan berbeda. Kalau tidak sama, turut serta dalam melakukan  apa ? Kalau pasalnya beda tidak bisa dikatakan deelneming, red), terang Rudi.

 

Chairul menerangkan semua atau salah satu unsur yang ada dalam dakwaan harus dilaksanakan secara bersama-sama. Kalau dia didakwa sendiri bagaimana membuktikan bersama-samanya, tandasnya. Terdakwa tunggal itu tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama orang lain.

Tags: