Israel-Palestina Perlu Mekanisme Two State Solution untuk Akhiri Konflik
Utama

Israel-Palestina Perlu Mekanisme Two State Solution untuk Akhiri Konflik

Posisi Indonesia dan negara-negara nonblok sudah sangat jelas, menentang segala bentuk agresi dan penjajahan Israel atas Palestina.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Apalagi, sudah banyak resolusi dari Dewan Keamanan PBB yang meminta Israel untuk menarik mundur pasukannya di wilayah Palestina karena jelas-jelas telah melanggar hukum internasional. Namun, Israel tidak pernah patuh, dan celakanya sikap Israel itu didukung negara-negara yang memiliki hak veto. “Tapi, Indonesia akan terus mendorong perdamaian dan terus mengajak negara-negara lain untuk mendorong perdamaian konflik Palestina dan Israel,” tegasnya.

Kadir menceritakan dahulu sejak zaman Ottoman, keturunan Yahudi Eropa berdiaspora ke Palestina semakin masif setelah perang dunia II. Dahulu orang Palestina dan Yahudi hidup berdampingan secara damai. Palestina terdiri dari berbagai etnis. Situasinya semakin berubah sejak lahirnya Zionisme, ketegangan diantara imigran Yahudi dan warga Palestina semakin membesar. “Para imigran Yahudi secara sistematis dan masif berusaha ingin memiliki wilayah Palestina,” kata dia.

Pada tahun 1967, Majelis Umum PBB, menetapkan tanah Palestina dibagi dua antara imigran Yahudi dan rakyat Palestina untuk menyelesaikan persoalan. Tetapi, Resolusi ini tidak dapat menyelesaikan persoalan dan menjadi hukum bagi imigran Yahudi untuk mendirikan negara Israel di Palestina. Keputusan ini tidak diterima Palestina dan hak-hak Palestina menurut hukum internasional telah dilanggar oleh imigran Yahudi.  

“Terjadi juga pengingkaran yang sudah disepakati dalam konperensi Montevideo Tahun 1933 dan prinsip self determination (menentukan nasib sendiri). Menurut hukum internasional, self determination merupakan hak yang dimiliki penduduk di suatu tempat, maka hanya warga Palestina yang tinggal selama ribuan tahun yang berhak memiliki self determination, seharusnya imigran Yahudi tidak bisa menggunakan self determination.”

Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Imam Mulyana, mengatakan dari 6 organ PBB ada 3 yang berkaitan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional yakni Dewan Keamanan (DK), Majelis Umum, dan Sekretariat PBB. DK PBB memegang tanggung jawab utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Anggota DK PBB terdiri dari 15 negara dan 5 diantaranya merupakan anggota tetap yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Rusia, dan China. DK PBB dapat bertindak atas nama semua anggota PBB, dan keputusannya mengikat kepada semua negara, dan dapat menyelesaikan sengketa dengan cara yang dipaksakan.

Dia mencatat sampai saat ini sedikitnya ada 239 resolusi DK PBB tentang penyelesaian sengketa Palestina. Ada juga resolusi yang terkait gencatan senjata, mengutuk, dan terkait pelanggaran hukum internasional. Tapi, tak sedikit dari resolusi yang diterbitkan itu kemudian diveto oleh AS. Menurut Imam, veto yang kerap digunakan Amerika Serikat menjadi tantangan dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel melalui PBB.

“Resolusi yang dikeluarkan DK PBB harus disetujui 5 negara anggota tetap. Jika salah satu negara itu menggunakan hak veto, maka resolusi atau keputusan tidak bisa diterbitkan. Resolusi adalah landasan hukum bagi PBB untuk melakukan tindakan,” kata Imam Mulyana dalam diskusi daring bertema “Palestine and International Law: Problems and Challenges”, Senin (24/5/2021) kemarin. 

Dia melanjutkan jika DK PBB tidak mampu mengambil tindakan untuk meredam krisis terkait perdamaian dan keamanan internasional, organ PBB lain dapat melakukan tindakan yakni Majelis Umum PBB yang saat ini beranggotakan 193 negara. Majelis Umum telah menerbitkan 997 resolusi terkait Palestina-Israel. Salah satuya, resolusi No.181 (II) Tahun 1947 tentang pemisahan wilayah Israel, Yerusalem, dan Arab (Palestina).

Jika DK dan Majelis Umum PBB tidak bisa melaksanakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, Imam menjelaskan Pasal 99 Piagam PBB memberi kewenangan melalui Sekretariat PBB agar meminta perhatian kepada DK PBB untuk menggelar sidang. Mekanisme ini pernah dilakukan untuk mengatasi sengketa Kongo tahun 1960 dan Tunisia tahun 1961.

Tags:

Berita Terkait