Jadi Advokat Pendamping Terpidana Mati, Antara Happy dan Frustasi
Berita

Jadi Advokat Pendamping Terpidana Mati, Antara Happy dan Frustasi

Cerita tentang advokat yang berusaha meloloskan klien dari eksekusi mati.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Aal mengatakan Ali menyampaikan beberapa pesan terakhir pada saat menjelang eksekusi mati sekitar Juli 2016 dan ketika sakit sekitar Mei 2018. Ali menyampaikan bahwa kita harus tetap berjuang untuk menghapus hukuman mati di Indonesia supaya kasus serupa tidak terjadi lagi. Agar tidak ada lagi orang yang tidak bersalah tapi dijatuhi hukuman.

Sampai saat ini Imparsial masih mendesak MA untuk segera menerbitkan pertimbangan grasi kepada Presiden. Grasi itu penting bagi keluarga untuk mengajukan rehabilitasi nama baik Ali.

(Baca juga: Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati).

Pengalaman serupa dalam mendampingi terpidana mati pernah dialami Koordinator Advokasi KontraS, Putri Kanesia. Ketika mendampingi terpidana mati asal Riau, Yusman Telaumbanua, Putri harus menghadapi bermacam tantangan berat. Melalui putusan bernomor:08/Pid.B/2013/PN-GS, majelis hakim gunung Sitoli menjatuhkan vonis pidana mati terhadap Yusman karena dianggap bersalah melakukan pembunuhan berencana. Dalam putusan itu usia Yusman tertulis 19 tahun (lahir 1993).

Putri mengatakan banyak kejanggalan dalam proses hukum yang dijalani Yusman. Saat menjalani proses pemeriksaan di kepolisian, sampai persidangan usia Yusman diperkirakan masih di bawah umur. Saat itu Yusman juga tidak mendapat pendamping hukum yang layak. Penasihat hukum Yusman ketika itu dalam pembelaan lisan (pledoi) yang disampaikan di pengadilan malah meminta Yusman dihukum mati. Mengingat usia Yusman masih anak, harusnya proses persidangan Yusman di dampingi Balai Pemasyarakatan (Bapas).

Putri sempat frustasi mencari cara bagaimana membuktikan bahwa Yusman masih di bawah umur. Yusman dan keluarganya tidak punya dokumen kependudukan. Salah satu bukti yang menunjukan Yusman masih berusia anak yakni buku catatan kelahiran milik sebuah Gereja di Riau. Dalam buku itu Yusman tertulis dengan nama panggilan ‘Ucok,’ lahir tahun 1996. Buku itu menurut Putri tidak cukup kuat untuk membuktikan usia Yusman, harus dicari bukti lain yang lebih valid.

Untungnya, KontraS berhasil bertemu dengan dokter forensik gigi dari Universitas Padjajaran Bandung. Putri mengatakan dokter itu mau memberikan bantuan dengan alasan demi kemanusiaan. Tapi untuk memboyong Yusman ke Bandung tidak mudah, mengingat Yusman terpidana mati, dia harus mendapat pengawalan khusus dari pihak lapas dan kepolisian. Kuasa hukum harus menempuh proses administrasi yang rumit dan berbiaya tidak murah untuk membawa Yusman ke Bandung.

(Baca juga: Harapan dari Bekas Lokasi Eksekusi Mati di Era Kolonial).

Sepekan setelah dokter forensik gigi Unpad memeriksa Yusman, Putri mengatakan hasilnya menunjukan usia Yusman saat itu (17 November 2015) yaitu 18-19 tahun. Jika dihitung mundur pada saat peristiwa pembunuhan berencana yang dituduhkan kepada Yusman di tahun 2012, usia Yusman ketika itu sekitar 15-16 tahun. “Hasil pemeriksaan ini membuktikan usia Yusman masih di bawah umur,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait