Jaksa Agung: Penerapan Restorative Justice Pertimbangkan Aspek Kemanfaatan Hukum
Terbaru

Jaksa Agung: Penerapan Restorative Justice Pertimbangkan Aspek Kemanfaatan Hukum

Asas dominus litis dan diskresi jaksa untuk menilai dapat dapat tidaknya dilakukan penuntutan terhadap suatu perkara.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin. Foto: RES
Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin. Foto: RES

Selama ini telah terjadi pergeseran cara pandang dalam menerapkan hukum dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Praktik penerapan keadilan restoratif menjadi kebutuhan hukum di masyarakat secara global. Dalam rangka menerapkan keadilan restoratif itu, penting untuk mencermati aspek kewenangan dalam sistem hukum secara menyeluruh. Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung sudah mempunyai kebijakan masing-masing yang berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif.

Aspek kewenangan ini penting dicermati agar terjadi keselarasan dalam penerapan restorative justice. “Hal ini menjadi penting untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum,” ujar Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin  saat memberikan sambutan dalam 31stCommission on Crime Prevention and Criminal Justice (CCPCJ) event bertajuk Promoting Restorative Justice: Strengthening The Rule of Law Through Restorative Justice Approach for Victim and Offenders’ secara virtual, Rabu (18/5/2022).

Berkaitan dengan kewenangan tersebut, Burhanudin melanjutkan, ada asas-asas universal dalam proses penegakan hukum, salah satunya asas dominus litis. Asas ini telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara. Dengan kata lain, jaksa sebagai pengendali bertanggung jawab atas kualitas penanganan suatu perkara. Oleh karena itulah, arah hukum dari suatu proses penegakan hukum sedari tahap penyidikan bakal dinilai jaksa apakah sebuah perkara layak tidaknya dilakukan penuntutan. Menurutnya, penilaian jaksa tak sekadar dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang bakal didapat.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung (2011-2014) itu mengemukakan aspek kemanfaatan menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif. Pasalnya dengan aspek kemanfaatan itulah terdapat kewenangan diskresi penuntutan alias prosecutorial discretion. “Inilah bentuk kewenangan jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lain. Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara,” katanya.

Baginya, kewenangan diskresi penuntutan bakal melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku ataurechtmatigheid dengan asas kemanfaatan atau doelmatigheid yang hendak dicapai. Menurutnya, ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau malah dilanjutkan ke pengadilan, diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih dekat. Serta memberikan kemanfaatan bagi banyak pihak. “Kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak untuk disidangkan atau tidak,” katanya.

Burhanudin, yang pernah menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Maluku Utara, serta Sulawesi Selatan dan Barat, berharap saat suatu perkara dihentikan atau dilanjutkan penuntutannya ke pengadilan bisa mencapai tujuan universal hukum yakni memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi semua pihak, khususnya para pihak berpekara.

Terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad  berpandangan, kewenangan jaksa dalam penerapan keadilan restoratif didasarkan pada kedudukan jaksa sebagai pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis. Menurutnya, kedudukan jaksa dalam asas dominus litis termaktub dalam Pasal 34A UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 34A menyebutkan, “Untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan/atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik”. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan prinsip diskresi yang diatur dalam Pasal 139 KUHAP. Jadi, setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, jaksa segera menentukan apakah suatu berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.

Pengaturan kewenangan dilakukan tanpa mengabaikan prinsip tujuan penegakan hukum meliputi tercapainya kepastian hukum, rasa keadilan, dan manfaatnya sesuai dengan prinsip restorative justice dan diversi yang menyemangati perkembangan hukum pidana di Indonesia. Penjelasan Pasal 34A UU Kejaksaan berusaha mengakomodasi perkembangan masyarakat yang menginginkan tindak pidana ringan atau tindak pidana yang bernilai kerugian ekonomis rendah tidak dilanjutkan proses pidananya dalam prinsip upaya penegakan hukum yang mengutamakan keadilan. Ini sejalan dengan doktrin diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary), dan kebijakan leniensi (leniency policy).Jadi, dengan adanya kewenangan dominus litis itu merupakan diskresi dalam menerapkan keadilan restoratif,” katanya kepada hukumonline.

DirekturSolusi dan Advokasi (SA) Institute itu berpandangan penerapan keadilan restoratif mempertimbangkan upaya memulihkan kondisi korban seperti sediakala, dan korban mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya. Ini berarti aparat penegak hukum, khususnya jaksa, harus mempertimbangkan aspek kemanfaatan. Suparji yakin konsep dominus litis dalam UU No. 11 Tahun 2021 membawa kemanfaatan dalam proses penegakan hukum. Dengan kata lain, kewenangan jaksa sangat untuk menerapkan restorative justice. Tinggal bagaimana kebijakan itu diterapkan secara benar berdasarkan kriteria dan aturan yang sudah disepakati.

Suparji berpendapat perlu memperluas cakupan jenis perkara yang dapat diterapkan keadilan restoratif agar jaksa memiliki keleluasaan. Apalagi jika dipandang dari sisi ekonomi, penanganan perkara tidaklah murah jika dihitung sejak awal hingga eksekusi. “Itu menjadi pertimbangan untuk penerapan keadilan restoratif. Tapi tidak berarti permisif terhadap terjadinya tindak pidana, tapi tetap keras, dalam rangka menimbulkan efek jera,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait