Pernyataan tersebut diungkapkan oleh JPU (jaksa penuntut umum) Sutantio, SH dalam pendapat JPU atas eksepsi penasehat hukum pada sidang kasus BLBI pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang dipimpin oleh M. Ritonga.
Sidang kali ini (27/11) adalah sidang lanjutan kasus Bank Aspac dengan terdakwa Hendrawan Haryono, Wakil Presiden Direktur PT Bank Aspac yang juga merangkap Direktur Kredit.
Dalam pendapatnya, JPU menyatakan bahwa apabila dianalisis secara utuh dan menyeluruh, kasus Bank Aspac ini mempunyai relevansi dengan rambu-rambu yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Dengan demikian, penyimpangan penggunaan BLBI oleg Bank Aspac sebagaimana didakwakan oleh JPU merupakan tindak pidana korupsi," ujar Sutantio.
Sutantio juga menegaskan bahwa dengan memahami UU No. 3 Tahun 1971 dalam penerapannya, tidaklah semudah itu untuk menafsirkan setiap penyimpangan terhadap fasilitas yang diberikan oleh pemerintah yang dilakukan dengan perjanjian mengikat sebagai hubungan keperdataan ansich.
Hal penting lainnya, dalam pendapatnya JPU menyatakan bahwa substansi keberatan penasehat hukum tidak termasuk ruang lingkup pasal 156 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Menurut Sutantio, Pasal 156 ayat (1) KUHAP secara tegas menyatakan bahwa ruang lingkup keberatan penasehat hukum meliputi kewenangan mengadili, surat dakwaan dinyatakan tidak diterima, dan surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum. "Oleh karenanya keberatan penasehat hukum harus dikesampingkan," ujar Sutantio dalam pendapatnya.
Bukan hal baru
Ditemui seusai persidangan, penasehat hukum terdakwa, LMN Samosir, mengatakan bahwa tidak ada yang baru dari pendapat yang diajukan oleh JPU. Samosir malah mempertanyakan alasan JPU yang mengatakan bahwa substansi eksepsinya tidak masuk dalam Pasal 156 (1) KUHAP.