Jalan Keluar Bagi Advokat dalam Implementasikan PP No. 43 Tahun 2015
Utama

Jalan Keluar Bagi Advokat dalam Implementasikan PP No. 43 Tahun 2015

Advokat wajib melaporkan adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang terdapat di klien kepada PPATK, hal itu justru melindungi profesi advokat.

Oleh:
CR19
Bacaan 2 Menit
Diskusi panel: Mencegah dan Memberantas Praktik Pencucian Uang, Mengenal Praktik Pencucian Uang yang Berkedok Investasi di Jakarta, Kamis (19/11). Foto: RES
Diskusi panel: Mencegah dan Memberantas Praktik Pencucian Uang, Mengenal Praktik Pencucian Uang yang Berkedok Investasi di Jakarta, Kamis (19/11). Foto: RES

Pasca diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Juni 2015 lalu, PP Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terus menuai kritik. Bahkan, pada Agustus 2015 lalu, salah seorang advokat menempuh langkah hukum melalui Hak Uji Materiil (HUM). Namun, hal sebaliknya justru datang dari salah seorang konsultan hukum papan atas Indonesia.

Dalam sebuah diskusi, Partner Assegaf Hamzah & Partners, Ahmad Fikri Assegaf, mengatakan bahwa aturan itu justru akan melindungi advokat atau konsultan hukum dalam menjalankan profesinya. Hal itu dipertegas dalam Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2015 yang menyebut bahwa ada pengecualian bagi advokat yang bertindak untuk kepentingan atau untuk dan atas nama pengguna jasa/klien.

Masih dalam pasal yang sama, kewajiban menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) dikecualikan bagi advokat dalam rangka untuk memastikan posisi hukum klien dan penanganan suatu perkara, arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

“Saya setuju kalau lebih baik masuk, karena akan dapat perlindungan,” ujar Fikri dalam diskusi panel yang diselenggarakan hukumonline dengan ILUNI FHUI KITA di Jakarta, Kamis (19/10).

Lebih lanjut, Fikri melihat, bahwa ketika seorang advokat melaporkan klien terkait adanya dugaan transaksi yang mencurigakan kepada PPATK, hal itu bukanlah tindakan yang menciderai klien. Sebab, di kalangan advokat sendiri, pasca diterbitkan aturan ini ada sejumlah kekhawatiran mengenai hubungan antara klien dengan advokat.

Paling tidak dikatakan Fikri ada kekhawatiran advokat ketika mengaitkan aturan ini dengan profesi advokat sebagai gatekeeper, terlebih mengenai kerahasiaan klien. Pasal 19 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat jelas mengatur bahwa advokat dalam hal ada hubungan profesi dengan klien, advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui dan diperoleh dari klien. Bahkan, dalam ketentuan yang sama, klien berhak juga atas perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik dengan advokat.

Lebih lanjut, dampak selanjutnya akibat kerahasiaan klien yang terganggu itu, bisa berdampak terhadap kepercayaan klien terhadap advokat menjadi rusak. Padahal, kepercayaan klien merupakan pilar dasar hubungan antara advokat dengan klien. Terkait hal ini, advokat tersebut wajib meyakinkan bahwa informasi yang diberikan tidak akan digunakan selain untuk kepentingan hukum klien.

Tags:

Berita Terkait