Jaminan Fidusia: Perkembangan dan Masalahnya
Kolom

Jaminan Fidusia: Perkembangan dan Masalahnya

Dua putusan MK terkait UU Jaminan Fidusia telah mengubah UU Jaminan Fidusia secara filosofis, yuridis (normatif) dan sosiologis.

Pengertian tidak absolut dalam hal ini sekalipun terjadi cedera janji namun jika debitor tidak bersepakat terkait terjadinya wanprestasi (cedera janji) maka sifat parate eksekusi yang melekat pada jaminan fidusia tidak dapat dipergunakan. Sebaliknya, kekuatan parate eksekusi jika mengacu pada Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 hanya dapat dipergunakan jika telah terjadi kesepakatan mengenai cedera janji antara debitor dan kreditor.

Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menimbulkan konsekuensi hukum akan meningkatnya perkara cedera janji dan permintaan eksekusi benda jaminan fidusia mengingat umumnya cedera janji sudah terjadi dalam kondisi konflik sehingga jarang dapat dicapai kesepakatan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021. Konsekuensinya adalah parate eksekusi tidak dapat berfungsi optimal untuk melindungi kreditor.

Secara hukum, dalam perspektif keperdataan Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menyisakan persoalan, mengingat pada umumnya perjanjian pembiayaan dengan jaminan objek fidusia menggunakan klausula baku yakni pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata (pembatalan perjanjian melalui pengadilan). Jika terdapat klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian pokoknya maka artinya demi hukum pengadilan tidak berwenang mengadili kasus cedera janji dan pengakhiran perjanjian yang berkonsekuensi pada terjadinya eksekusi objek jaminan fidusia.

Secara hukum Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menyisakan celah hukum terkait dengan penggunaan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Demikian juga Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 secara sosiologis juga berdampak pada konsumen yakni dalam kondisi diperlukan persyaratan akan adanya kesepakatan cedera janji maka penagih utang (debt collector) tentu akan semakin memberi tekanan pada debitor. Sebaliknya, kondisi ini akan menimbulkan persoalan hukum baru yakni persoalan hukum antara debitor dan penagih utang (debt collector).

Dapat dikatakan dalam hal ini Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah mengubah UUJF secara filosofis, yuridis (normatif) dan sosiologis.

Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Faculty Member International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait