Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Skema Baru dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Skema Baru dalam RUU Cipta Kerja

Menggunakan sistem asuransi. Jaminan berupa pemberikan uang cash atau tunai bulanan hingga mendapat pekerjaan baru; pembekalan dengan pelatihan dan upgrading kemampuan; dan fasilitas informasi untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Pemerintah memberikan perlindungan bagi pekerja berupa jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) sebagaimana tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja. Skema jaminan perlindungan tenaga kerja ini menuai respon positif. Tapi, di sisi lain menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mulai kemampuan beban keuangan negara, hingga pekerja/buruh yang bagaimana yang bisa menerima JKP tersebut.

Staf Kementerian Koordinator Perekonomian, Elen Setiadi memaparkan alasan pengaturan skema baru dalam bentuk JKP ini karena dalam praktik pemberian pesangon yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) kerap merugikan pekerja karena perusahaan membayar pesangon tidak sesuai ketentuan. Karena itu, pemerintah memikirkan membuat skema baru melalui JKP dalam RUU Cipta Kerja.   

Melihat data Satuan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik per 2018, hanya 7 persen yang menerima pesangon sesuai dengan aturan sebagaimana diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenegakerjaan. Bagi pemerintah, kata Elen, skema JKP sejalan dengan upaya perlindungan terhadap tenaga kerja. “Karena itu, pemerintah memikirkan skema baru ini untuk membantu persoalan ini,” ujar Elen Setiadi dalam rapat Panja RUU Cipta Kerja, Minggu (27/9/2020) malam di Jakarta. (Baca Juga: RUU Cipta Kerja Tak Mengenal Jenis Upah Minimum Sektoral)

Elen memaparkan skema yang ditawarkan melalui RUU Cipta Kerja dengan sistem asuransi. Apalagi skema asuransi/jaminan sosial telah diatur melalui berbagai peraturan. Dalam Pasal 18 UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terdapat lima jaminan yakni jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Nah, melalui RUU Cipta Kerja dalam Pasal 18 UU 40/2004 terdapat penambahan berupa JKP.

“Ini bentuk komitmen pemerintah agar pekerja yang terkena PHK tidak terlalu lama mencari pekerjaan. Atau terlalu lama menyesuaikan dengan keadaan pekerjaan yang baru atau dia memerlukan sistem informasi untuk mendapatkan pekerjaan baru,” ujarnya.

Untuk itu, negara melalui pemerintah mesti memberikan jaminan. Pertama, berupa uang cash atau tunai dalam bentuk bulanan, hingga mendapat pekerjaan. Persoalannya, hitungan besaran nominal dan jangka waktu hingga konsekuensi dengan penerapan JKP perlu pembahasan mendalam. Sebab, hal ini bakal menyerap anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Kedua, pemerintah bakal memberikan pelatihan dan upgrading. Ketiga, fasilitas informasi untuk mendapatkan pekerjaan baru.

“Kami mengusulkan jaminan ini ditambahkan, sehingga melengkapi jaminan sosial yang sudah ada. Dengan skema ini, kami harapkan perlindungan tenaga kerja menjadi komplit,” ujarnya.

Pengaturan JKP diatur pada klaster ketenagakerjaan bagian ketiga “jenis program jaminan sosial”. Pasal 90 RUU Cipta Kerja mengatur tentang perubahan ketentuan pada UU 40/2004. Selain Pasal 18, juga menyelipkan lima pasal baru yakni Pasal 46 dan 47, Sehingga menjadi Pasal 46A, 46B, 46C, 46D, 46E yang mengatur tentang JKP.

Mempertanyakan

Terhadap usulan pemerintah, prinsipnya seluruh fraksi mendukung penuh. Hanya saja sejumlah pertanyaan muncul dalam pikiran masing-masing anggota Panja di Baleg. Anggota Panja, Darmadi Durianto mempertanyakan gagasan tersebut. Sebab, pemerintahan Joko Widodo sudah menggelontorkan program Kartu Prakerja yang memberikan pelatihan dan kompetensi.

“Kalau ini mirip, ada over lapping. Tapi sejauh mana APBN ini bisa menjangkau, tergantung Kemenkeu. Jadi ini harus ada itung-itungannya,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Anggota Panja Obon Tabrani mengatakan upaya pemerintah dalam memperbaiki perlindungan terhadap buruh dan pekerja perlu didukung penuh. Hanya saja, karena sifatnya asuransi, maka perlu diperjelas kepesertaannya. Karena itu, rumusan norma terkait JKP dalam draf perlu dikongkritkan.

“Misalnya, apakah ini berlaku bagi semua pekerja atau buruh yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan? Karena ada juga buruh yang tidak diikutsertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan, padahal mereka membutuhkan, tapi tidak mendapat manfaat,” ujarnya.

Sementara Syamsurizal anggota Panja dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan penamaannya menjadi “jaminan kompensasi kehilangan pekerjaan”. Kemudian soal adanya sistem informasi bagi pekerja yang terkena PHK untuk mendapatkan pekerjaan baru menjadi hal positif.

Oleh sebab itu, diperlukan hubungan dan komunikasi antara perusahaan dengan pemerintah secara baik agar memiliki database perusahaan yang sedang membuka peluang pekerjaan baru. “Ini semakin bagus sistem ketenagakerjaan kita, semua database pekerja di perusahaan itu ada, dan mereka mendapat informasi baru untuk mendapat pekerjaan baru,” ujarnya.

Di ujung rapat, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengingatkan negara harus hadir di tengah perlindungan kelas pekerja. Selama ini pengaturan beban iuran berbagi antara pengusaha dan pekerja. Namun bila kedua pihak tak mampu, maka negara berkewajiban menanggung beban tersebut. “Negara wajib hadir, itu prinsipnya,” tegasnya.

Politisi Partai Gerindra itu menegaskan negara mesti memberikan kepastian perlindungan pekerja atas hak-haknya. Namun lantaran situasi revolusi industri, terdapat pengaturan tertentu yang perlu diatur lebih lanjut. Karenanya, dia menyarankan agar tidak membahas terlebih dahulu soal besaran nominal bagi JKP.

Apalagi skema yang disodorkan pemerintah menggunakan sistem asuransi. “Menjadi pertanyaan, siapa gerangan yang bakal membayar premi asuransi para pekerja. Kalau bicara pesangon dibagi dua pekerja dan pengusaha. Sekarang kedua-duanya diambil pemerintah. Skema APBN-nya sanggup gak menanggung ini?” 

Tags:

Berita Terkait