Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia
Kolom

Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia

​​​​​​​Kalau tak segera diluruskan, istilah Ormas akan jadi istilah payung yang membuat seluruh organisasi di sektor masyarakat sipil jadi Ormas.

Bacaan 8 Menit

Buntutnya, menerjemahkan Civil Society ke bahasa Indonesia juga jadi tak sederhana. Di Indonesia, ada Nurcholis Madjid yang menerjemahkan Civil Society sebagai “Masyarakat Madani”, Soetandyo Wignjosoebroto dengan “Masyarakat Warga”, atau Mansour Fakih yang memilih terjemahan “Masyarakat Sipil”. Semua dengan alasan dan penjelasannya masing-masing.

Dalam pembahasan tentang sektor, masyarakat sipil dibedakan dari sektor negara (state) dan sektor pasar (market). Menariknya, sektor masyarakat sipil juga punya nama lain, yang mencerminkan keluasan lingkup dan perbedaan cara pandang atas sektor ini, yaitu: Sektor Nirlaba (Nonprofit Sector), Sektor Ketiga (Third Sector), Sektor Kesukarelaan (Voluntary Sector) dan berbagai nama lainnya.

Salah satu aktor di sektor masyarakat sipil adalah Civil Society Organisation (CSO), atau Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). OMS meliputi beragam jenis organisasi, mulai dari organisasi berbasis keyakinan (faith-based organisations), organisasi non-pemerintah (Ornop)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi berbasis komunitas (community-based organisations), lembaga riset independen (independent research institutes), organisasi keanggotaan berbasis massa (mass-based membership organisations), organisasi relawan (volunteer organisations) dan lain sebagainya.

Salamon, Sokolowski, dan List (2003) mendefinisikan ciri-ciri entitas yang ada dalam sektor masyarakat sipil sebagai: 1) Organizations, memiliki struktur, dan keteraturan dalam beroperasi (baik formal maupun informal), 2) Private, bukan bagian dari negara, 3) Not profit distributing, alias nirlaba, 4) Self-governing, ada mekanisme tata kelola internal yang mandiri, 5) Voluntary, keterlibatan ataupun keanggotaan dalam organisasi itu bersifat sukarela, bukan karena suatu kewajiban.

Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa OMS tidak bisa begitu saja disempitkan jadi Ormas. Semesta OMS jelas lebih luas dari Ormas. Menimbang luas dan keragaman OMS, bisa dipastikan bahwa baju Ormas bakal kesempitan bila dipaksakan. Arus untuk memadankan istilah Ormas dengan pengertian OMS, berpotensi untuk menimbulkan masalah lebih besar dari sekadar soal pilihan istilah.

Perebutan Tafsir

Tanpa pemahaman atas konteks gerakan masyarakat sipil, sikap memadankan istilah Ormas dengan OMS, bisa dipandang tak masalah. Padahal, istilah Ormas tak lepas dari jejak kelam rezim Orde Baru yang mengedepankan stabilitas politik dengan mengontrol dinamika organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

Kita perlu ingat bagaimana konsep-konsep Orde Baru seperti “Asas Tunggal” ataupun “Wadah Tunggal” dalam UU No.8/1985 tentang Ormas, digunakan untuk memberangus organisasi. Persoalan “Asas Tunggal”, sempat membuat Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) tidak diakui keberadaannya dan kegiatannya pun sempat dilarang. Sementara “Wadah Tunggal” intinya mendorong organisasi sejenis agar berhimpun hanya dalam satu wadah pembinaan. Dalam praktiknya, rezim Orde Baru tak berkenan atas organisasi tandingan yang di luar kendalinya.

Tags:

Berita Terkait