Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia
Kolom

Jangan “Ormaskan” Sektor Masyarakat Sipil Indonesia

​​​​​​​Kalau tak segera diluruskan, istilah Ormas akan jadi istilah payung yang membuat seluruh organisasi di sektor masyarakat sipil jadi Ormas.

Bacaan 8 Menit

Percobaan penguasa untuk memadankan istilah Ormas dengan OMS, sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1985. Definisi Ormas dalam Pasal 1 UU Ormas 1985 mencakup pengertian luas, yaitu: “…organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.

Dengan definisi seluas itu, bisa diartikan bahwa segala jenis organisasi bentukan masyarakat di sektor masyarakat sipil bisa dikategorikan sebagai Ormas. Walau tak tegas tertulis, tapi definisi luas ini dengan sendirinya berupaya memadankan istilah Ormas dengan OMS.

Menariknya, percobaan perebutan tafsir itu nampaknya disadari dan berhasil dilawan oleh aktivis LSM tahun 80-an. Penggalan sejarah perlawanan tafsir itu terekam dalam buku Eldridge (1995), yang menceritakan bahwa kalangan LSM saat itu berhasil menentang penerapan UU Ormas 1985 atas LSM, dengan menyatakan bahwa UU Ormas hanya mengatur organisasi berbasis massa, sehingga LSM tidak ikut masuk dalam pengertian Ormas.

Tafsir bahwa UU Ormas hanya mengatur organisasi berbasis massa dan mengecualikan LSM, menurut Eldridge, akhirnya didukung oleh Soepardjo Roestam (saat itu Menteri Dalam Negeri). Eldridge menduga sikap pemerintah Orde Baru yang tidak mengejar detail pengaturan UU Ormas terhadap LSM saat itu, adalah karena penerimaan yang relatif baik dari kalangan LSM atas asas Pancasila. Namun Eldridge juga mencatat, walau perlawanan tafsir itu bisa membuat LSM bertahan hidup dalam suasana politik yang membatasi, tapi hal itu menyisakan ketidakjelasan berkepanjangan atas landasan hukum keberadaan LSM.

Soal istilah “LSM” pun tak lepas dari upaya perebutan istilah oleh rezim Orde Baru. Mansour Fakih (1996) mencatat sikap kritis sebagian aktivis masa itu yang lebih memilih istilah Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) dibanding istilah LSM, karena dipandang sebagai upaya penjinakan oleh penguasa. Hadiwinata (2003) menjelaskan konteks kelahiran istilah LSM pada tahun 1980, karena pemerintah Orde Baru keberatan dengan istilah Ornop yang merupakan terjemahan langsung dari Non-Governmental Organisations (NGOs).

Kembali ke soal istilah Ormas, memasuki era 90-an, meskipun pemerintah bertahan dengan definisi luas, dapat dikatakan sejak itu praktik pengertian Ormas terbatas pada organisasi berbasis keanggotaan yang berjumlah besar (berbasis massa). Bisa jadi, di titik inilah asal munculnya salah kaprah bahwa kepanjangan Ormas adalah “Organisasi Massa”, walaupun jelas tertulis dalam undang-undang sebagai “Organisasi Kemasyarakatan”. Makin salah jauh, terjemahan Ormas dalam dokumen bahasa Inggris pun banyak yang menuliskannya sebagai “Mass Organization”.

Ambiguitas ini, sedikit banyak telah menyelamatkan beragam jenis organisasi yang ada di sektor masyarakat sipil untuk tidak dicap sebagai Ormas. Dengan ketidakjelasan definisi Ormas dalam praktik, banyak organisasi bisa terhindar dari pendekatan politik-keamanan ala rezim Orde Baru. Sebagian besar kemudian secara hukum memilih bentuk Yayasan atau Perkumpulan, lalu secara sosial-politik berhasil membedakan diri dari Ormas.

Tags:

Berita Terkait