Jejak Langkah MM
Tajuk:

Jejak Langkah MM

Di setiap lingkungan dan organisasi di mana MM beraktivitas, beliau meninggalkan pesan-pesan dan contoh-contoh nyata, utamanya bagaimana kita dalam posisi dan kedudukan apapun dan di manapun juga, wajib tegar untuk memegang integritas, kejujuran, bersih dari korupsi, dan selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kecil.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Mari'e Muhammad. Ilustrator: BAS
Mari'e Muhammad. Ilustrator: BAS
Pakem yang baku mengenai tulisan mengenang tokoh yang baru saja meninggalkan kita biasanya berkisar mengenai hal-hal yang baik saja. Mengenang Pak Mari’e Muhamad (MM) ternyata tidak perlu menggunakan pakem itu. Dalam memori saya yang panjang mengenai MM, tidak ada hal-hal tidak baik yang harus saya sembunyikan mengenai MM. 

Perkenalan pertama saya dengan MM terjadi pada masa beliau masih menjabat Menteri Keuangan RI (MM menjabat sebagai Menkeu pada periode 1993-1998). Saya sebagai seorang “corporate lawyer” yang masih cukup muda waktu itu, diajak serta oleh Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, waktu itu Dekan FEUI, untuk menemui MM di kantornya di Lapangan Banteng. Tujuan pertemuan adalah untuk membicarakan beberapa modus, opsi dan inovasi pembiayaan modern yang sedang menjadi tren di dunia, yang mungkin bisa dipraktikkan di Indonesia, sehingga bisa menjadi alternatif pembiayaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih terbuka. Pertemuan berlangsung singkat, agak kaku, dan MM hanya mempersilakan dan mendorong kami mengembangkannya dengan sektor dunia usaha dengan memperhatikan kerangka hukum yang ada. Kesan pertama saya mengenai MM, beliau memang tidak ramah, to-the-point, dan tidak menjanjikan kebijakan apapun. Setelah lama memikirkannya, saya paham bahwa memang sebetulnya inilah sikap yang harus diambil oleh seorang Menteri dan pejabat negara lain. Beliau membuat jarak sebagai regulator dalam merespons pihak yang membutuhkan suatu kebijakan diambil.

Setelah lama tidak bertemu, saya terlibat dalam banyak kegiatan pra dan pasca reformasi, yang sering bersinggungan dengan MM, terutama dalam kegiatan-kegiatan bersama para pekerja reformasi di Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Dari sana saya lebih mengenal dekat MM. Setelah tidak menjabat sebagai pejabat negara, MM di mata saya menjadi lebih terbuka, ramah, blak-blakan, bahkan punya sense of humor yang tinggi. Yang juga menonjol adalah sisi lain MM sebagai ustad kami. Mendongeng tanpa menggurui, kaidah-kaidah Islam yang benar, yang jauh dari sikap benar sendiri, keras, dan eksklufsif. Diskusi dengan MM selalu menukik dan dalam, dan pada ujungnya selalu menyangkut apa yang menjadi kepentingan terbaik bangsa dan rakyat kecil. Tidak pernah sekalipun ada kesan kepentingan pribadi di dalam semua cerita MM tentang perjalanan hidupnya, baik di pemerintahan maupun kehidupan bermasyarakat, kehidupan politik maupun pribadinya. Tidak pernah sekalipun ada pengakuan mengenai jasanya pribadi atas setiap inisiatif dan sukses di bidang pemerintahan. Pada masa reformasi, peran MM begitu besar di tengah penentuan siapa yang patut memimpin negeri ini setelah Orde Baru. MM ikut menentukan siapa yang layak, di tengah proses pencarian pemimpin. Cak Nur, Amien Rais, Gus Dur, Sultan Yogya, atau siapa? Ketika proses politik akhirnya menentukan siapa yang harus tampil, tidak sedikitpun ada niatan dari MM untuk mengambil bagian dari kekuasaan baru tersebut.

Di setiap lingkungan dan organisasi di mana MM beraktivitas, beliau meninggalkan pesan-pesan dan contoh-contoh nyata, utamanya bagaimana kita dalam posisi dan kedudukan apapun dan di manapun juga, wajib tegar untuk memegang integritas, kejujuran, bersih dari korupsi, dan selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kecil. Saya melihatnya sendiri pada waktu MM menjadi Menteri Keuangan, dan memimpin Oversight Committee BPPN, MTI, Tim Pengendali Jaring Pengaman Sosial (TP JPS), Karsa Kemanusiaan Indonesia (KKI), PMI, penasihat Menkeu, dan banyak lembaga dan aktivitas sosial dan kemasyarakatan lainnya.

Sewaktu menjabat Menteri Keuangan, sejumlah keputusan dibuat oleh MM yang dianggap sangat sensitif, karena menyangkut kepentingan penguasa Orde Baru dan kroninya. Hal ini sempat mencuat dalam euphoria reformasi pihak Kejaksaan Agung dalam usaha mengejar pengembalian harta penguasa Orde Baru ke negara pada masa reformasi. Beberapa keputusan pemerintah sempat dipertanyakan karena dianggap memberi peluang kepada kroni Orde Baru untuk menggunakan uang negara secara melanggar hukum. MM, didampingi oleh para advokat yang tergabung di MTI, menjelaskan bahwa semua keputusan negara di mana ia terlibat sebagai Menteri Keuangan sudah melalui kajian hukum dan governance yang ketat. Dalam semua keputusannya, Menteri Keuangan selalu mensyaratkan bahwa dalam melaksanakan aktivitasnya, semua pihak terkait wajib untuk melaksanakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti bahwa semua kegiatan pengadaan, baik barang dan jasa, wajib untuk tunduk pada peraturan lelang yang berlaku. Kegiatan yang tidak dilakukan dengan tunduk pada syarat tersebut merupakan tindakan illegal dan batal demi hukum. Pelanggaran tersebut karenanya menjadi wewenang penegak hukum untuk menindaknya. Di sini, dalam suasana Orde Baru yang serba korup, ternyata ada seorang Menteri yang berfikir dan bertindak lurus, tanpa memandang kepentingan siapapun termasuk kroni penguasa tertinggi. Pegangan MM adalah hukum, moral dan etika pejabat, dan juga sebagai ummat yang diberi mandat untuk menjadi pemimpin yang amanah.

Pernah saya bertanya bagaimana dia bisa survive dan tidak makan hati menjadi bagian dari penguasa yang korup. Jawabnya singkat. “Saya berpegang pada hukum, dan tidak perlu berbenturan dengan “bapaknya”. Saya cukup memperhatikan gesture, bahasa tubuh dan tekanan suara si bapak, dan itu cukup untuk memberikan saya kapan harus maju dan kapan harus menyiasati suatu kebijakan dengan cara lain. Ternyata dengan itu si bapak tidak pernah menghentikan tindakan saya menjunjung hukum dan memelihara governance.”  

Pada waktu memimipin Oversight Committee BPPN, MM dan timnya mengkaji kebijakan restrukturisasi perbankan yang dilakukan oleh BPPN. Proses ini sangat rumit, membutuhkan kerja besar dari pemutus kebijakan, melakukan monitoring atas kebijakan moneter, tindakan penyehatan perbankan, pengelolaan aset perbankan, pengembalian aset negara lewat proses asset recovery yang rumit, proses hukum, dan transparansi serta akuntabilitas kepada para pemangku kepentingan dalam pelaksanaannya. MM membutuhkan biaya yang besar untuk kegiatan Oversight Committee BPPN tersebut. Tetapi, untuk waktu yang lama tidak ada lembaga negara yang berinisiatif mengucurkan dana untuk kegiatan yang sangat penting itu. Waktu BPPN mengusulkan untuk membiayai kegiatan tersebut, MM menolak dengan tegas, karena berpegang kepada independensi Oversight Committee hal tersebut dianggap sebagai suatu kondisi konflik kepentingan. Akibatnya untuk waktu yang lama, MM dan mereka yang bekerja untuk Oversight Committee BPPN harus melakukan kerja pro bono. Ini membuktikan betapa teguhnya MM memegang prinsip integritas.

Sebagai Ketua PMI, banyak cerita sedih MM mengenai betapa sulitnya upaya untuk membantu meringankan beban korban bencana alam dan konflik bersenjata. Demikian juga halnya dengan para pasien yang membutuhkan donor darah. Dengan segala keterbatasan itu MM selalu berada di ujung tombak dalam upaya mencapai korban bencana. Pada awal bencana gempa bumi dan tsunami Aceh, jalur udara masih tertutup, dan salah satu cara yang bisa ditempuh hanya melalui jalan darat melewati provinsi Sumatera Utara. Pada waktu itu Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh (BRR) masih baru, sehingga walaupun wewenangnya besar, masih belum dikenal oleh masyarakat luas terutama di daerah. MM, dengan bendera PMI memimpin rombongan kendaraan yang membawa bantuan darurat untuk rakyat Aceh yang menderita akibat bencana. MM dicegah masuk wilayah Aceh oleh pasukan militer yang menjaga wilayah yang masih kacau karena bencana maupun konflik senjata, walaupun MM sudah mengatakan bahwa rombongannya membawa bantuan untuk tujuan kemanusiaan kepada rakyat Aceh. Karena tetap dicegah, MM turun ke jalan, dan mendesak maju dan menerobos bersama rombongannya menembus barikade. Akhirnya karena ketulusan dan kekerasan hati MM, rombongan pembawa bantuan bisa memasuki daerah bencana.

Tugas PMI bukan saja terbatas pada tugas-tugas kemanusiaan di Indonesia, tetapi juga melewati batas-batas negara. Pada waktu wilayah Irak sedang carut marut dilanda perang saudara dan bombardir bom dan pendudukan pasukan sekutu, sejumlah daerah di blokir, jutaan penduduk Irak terisolir dan terperangkap di zona perang, dan ratusan ribu penduduk Irak tercabut dari akarnya dan penjadi pengungsi lokal maupun internasional, sehingga arus bahan bantuan makanan, susu untuk bayi dan obat-obatan tidak mencapai mereka. Palang Merah International dan organisasi internasional kemanusiaan lainnya tergerak untuk menembus blokade tersebut. PMI di bawah MM menjadi salah satu dari organisasi yang menjadi bagian dari gerakan tersebut. Kita ingat banyak individu dari seluruh dunia rela menjadi human field di zona perang tersebut agar bantuan bisa mencapai penduduk Irak.  MM menjadi salah dari mereka yang berani melakukan itu, terbang di atas udara Irak yang tertutup untuk penerbangan sipil, penuh dengan ancaman bombardir artileri dari berbagai pihak yang terlibat perang. MM mencapai zona itu dan menjadi bagian dari human field yang meneruskan bantuan kepada rakyat Irak yang menjadi korban perang. Saya membayangkan MM dengan tubuhnya yang ringkih memberikan bantuan langsung di tengah zona perang, sementara kita yang prihatin dan mendukung rakyat Irak melakukannya dari gedung kantor yang nyaman di tengah kota Jakarta yang aman. Dalam tubuh yang ringkih MM, tersimpan jiwa dan semangat kemanusiaan yang kuat tanpa rasa takut atas risiko yang terjadi atas dirinya. Cerita itu semua tidak keluar dari mulut MM sendiri, tetap kami gali dari banyak sumber pada waktu kami cemas membayangkan bahwa MM berada di sana di tengah perang yang berkecamuk.

Cerita lain yang menyentuh adalah ketika kami di MTI kehabisan dana untuk menjalankan roda organisasi. MM dengan tulus meminta para pengurus MTI untuk melelang mobil tuanya, dan menggunakan hasilnya untuk kepentingan MTI, padahal kami tahu betul bahwa MM sebenarnya hidup dengan sederhana dengan penghasilan terbatas. Pada waktu kami sedang kesulitan untuk mempunyai kantor MTI yang lebih baik, MM ditawari oleh pemerintah untuk membeli dengan harga sangat murah 2 rumah di daerah elit Kuningan untuknya pribadi. MM menolak dengan mengatakan sudah punya rumah yang dibayarnya dengan mencicil di daerah Kebayoran baru. Ketika ada yang mengusulkan agar MM membeli saja kedua rumah tersebut dan menggunakannya untuk tujuan sosial, misalnya untuk kantor MTI, MM tetap menolak karena beranggapan bahwa yang mendapat fasilitas adalah dirinya pribadi, sedangkan beliau sudah tidak menjabat lagi. Kalaupun masih, jawabannya pasti akan sama saja.

Demikianlah, begitu banyak contoh-contoh yang diberikan oleh MM yang menunjukkan kepemimpinan yang bersih dan efektif, integritas tanpa kompromi, kejujuran dan kesederhanaan MM, yang patut untuk kita teladani. Orang-orang yang dekat dengan MM pasti mempunyai cerita-cerita itu, yang sedikit banyak akan mempengaruhi jalan hidupnya dan menginspirasi tindakan-tindakannya. Cerita-cerita keteladanan ini akan mempengaruhi banyak lembaga negara, birokrat, politisi, pekerja masyarakat sipil, pekerja sosial dan banyak lagi kalangan lainnya, dan akan terus bergaung untuk waktu yang lama, dan menjadi bagian dari sejarah kita. Perjuangan anti korupsi di Indonesia tidak akan melupakan MM yang telah memberi gagasan jernih tentang bagaimana KPK dibangun, difungsikan secara efektif, dan dijadikan contoh atau teladan sebagai birokrasi yang tidak pernah memberikan toleransi sekecil apapun terhadap korupsi.

Saya tidak akan pernah lupa, bagaimana MM yang sangat sensitif dan halus pekertinya membisikkan ke dekat telinga kami dengan suara sangat pelahan, tentang praktik buruk birokrasi, politisi, pengusaha besar, bahkan pemuka masyarakat yang perlu dikritik dan dikoreksi. Padahal, kami semua tahu bahwa orang-orang itu tidak mendengarnya. Itulah MM, bekerja dan mengubah banyak hal dalam kehidupan bernegara, berpolitik dan bermasyarakat tanpa harus memburukkan orangnya.

Terakhir kami bertemu sekitar 3 minggu sebelum MM wafat. Dalam kondisi kesehatan yang tidak baik, MM tetap menunjukkan semangatnya menilai kondisi negara. Satu per satu, kami aktivis MTI, dia tanyakan keadaannya, dan diminta pendapat kami atas pendapat MM, yang masih meminta setiap hari dibacakan berita-berita tentang kondisi politik, ekonomi dan sosial di Tanah Air. MM menunjukkan keprihatinan mendalam khususnya tentang kondisi politik kita. Dan seakan merasakan waktunya yang sudah dekat, MM merasa sedih tidak dapat bersama kami lagi, untuk memberi sumbangan pikiran memperbaiki keadaan yang carut marut di sana-sini.

Selamat jalan pak Mari’e, terima kasih telah bersama kami dan membimbing kami dengan keteladanan. Keteladanan MM akan terus membayang, menginspirasi dan menguatkan siapapun yang meneruskan perjuangannya merawat Indonesia.

Arief Surowidjojo
Tags: