Jimly Asshiddiqie: Mulailah Peradilan Modern dengan Enlightened Judges
Terbaru

Jimly Asshiddiqie: Mulailah Peradilan Modern dengan Enlightened Judges

Banyak jalan menuju roma, banyak pula cara merombak lembaga peradilan. Salah satunya yang ditempuh Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Bersama koleganya di MK, Jimly merombak sistem peradilan gaya lama dengan menguatkan manajemen administrasi berbasis teknologi informasi.

Oleh:
CRP
Bacaan 2 Menit

Kalau semua sudah terbangun, seperti  database yagn sudah mantap, administrasi mantap, sistem informasi yang accessable, maka hakim harus mengubah iklim kerjanya. Saya melihat rata-rata hakim agung di sini sudah enggan atau malas untuk meningkatkan pengetahuan. Rata-rata sudah merasa cukup karena hakim agung adalah jabatan yang paling puncak. Sehingga seolah-olah mereka sudah mengerti hukum, mengerti semuanya. Padahal namanya hukum itu selalu mengalami perkembangan, harus selalu diikuti. Jarang sekali ada hakim agung yang mau sekolah lagi.

 

Beberapa hakim agung kan sekolah lagi untuk memberi contoh pada hakim-hakim di tingkat bawah agar mau belajar lagi?

Memang ada satu dua. Tetapi rata-rata sudah merasa cukup dengan pengetahuan yang mereka miliki.

 

Seharusnya untuk seorang hakim agung mesti bagaimana?

Tugas hakim itu kan sebenarnya simpel,  hanya ada empat kerjaan. Membaca, berdebat, menulis dan berusaha menjadi moderator yang baik.

 

Barangkali bisa dijelaskan lebih lanjut tentang empat tugas hakim itu?

Di negeri yang sistem hukumnya menganut civil law ini tugas hakim realtif ringan. Kalau di sistem common law, selain memantau perkembangan norma hukum, hakim harus terus memantau putusan-putusan hakim-hakim yang juga rekannya. Di sini, tugas hakim itu kan cuma membaca berkas dan memantau produk Peraturan Perundang-undangan terbaru. Seorang hakim di sini, selain harus aktif memantau perkembangan-perkembangan hukum terbaru dia juga harus memanfaatkan segala sumber informasi hukum. Bahkan untuk sekarang ini tak cukup hanya Peraturan yang diterbitkan di Pusat, tapi juga perlu lebih jauh mempelajari Perda-Perda (Peraturan Daerah-red). Terutama untuk pengadilan tingkat I dan tingkat II didaerah masing-masing. Tentu karena Perda ini makin lama juga makin banyak, seorang hakim agung juga punya pekerjaan untuk memantau peraturan yang semakin berlipat itu. Ini wajar, karena kita kan penganut civil law, memang harus begitu.

 

Berdebat. Ini harusnya menjadi pekerjaan hakim ketika akan membuat putusan. Semua mesti memiliki argumen yang cukup mendalam dengan logika-logika hukum bisa diterima semua kalangan sehingga masyarakat pencari keadilan juga akan ikut belajar. Menulis. Ini karena seorang hakim harus membuat  putusan yang bisa dijadikan acuan bagi perkembangan hukum di Indonesia. Maka saya menyarankan agar seorang hakim itu harus dekat dengan lingkungan akademis. Dari lingkungan Perguruan Tinggi. Dari situ, logika-logika hukum yang akan dipakai  ketika membuat pertimbangan sebelum memutus perkara akan lebih matang dan dalam. Putusan mesti mudah dipahami mahasiswa hukum dan praktisi hukum, tidak sumir dan memiliki argumen yang kuat. Panjang tidak apa-apa, kalau perlu dibuat footnote semacam paper. Kalau di MK begitu. Jadi untuk setiap pengadilan itu harus terbangun kultur ilmiah.

 

Di Pengadilan tingkat pertama, seorang hakim juga berlaku sebagai moderator bagi dua pihak yang menghadap di muka sidang. Di sini dia harus memiliki kemampuan memanajemen kedua belah pihak agar tercipta equal treatment bagi kedua pihak itu.

 

Kesimpulannya peradilan di Indonesia masih jauh dari kultur ilmiah?

Nah, ini karena riuh peradilan di Indonesia selama ini bukan riuh karena ramainya perdebatan ilmiah hukum. Tapi justru riuh seperti pasar. Kalau sudah tercipta kultur ilmiah, otomatis sebuah informasi itu akan sangat terbuka, sehingga tidak lagi ada ribut-ribut soal perkara yang ditransaksikan. Sebab dalam suatu perdebatan yang sudah sarat nuansa ilmiah, nantinya transaksi-transaksi jual beli informasi atau jual beli perkara  akan hilang dengan sendirinya.

 

Tags: