Penggunaan terminologi “Islamophobia” sebetulnya telah eksis sejak dua dekade lalu. Terutama sejak insiden 911 (nine one one) terjadi, dimana serangkaian serangan terkoordinasi oleh kelompok teroris militan al-Qaeda terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001 silam, penggunaan istilah ini lebih sering dipakai. Pasalnya, diskriminasi dan kebencian yang ditujukan terhadap umat Islam secara global terus meningkat pesat.
Tanpa pandang bulu, pemeluk agama Islam kerap menjadi objek diskriminasi banyak pihak tidak bertanggung jawab. Sebab, banyak muslim menerima kekerasan verbal, fisik, bahkan pada tingkat ekstrim menjadi korban pembunuhan massal. Meski demikian, mereka terus memperjuangkan haknya untuk tidak terderogasi dan memerangi stigma Islamophobia yang menghantui. Jerih payah itu bakal berbuah manis, kini Kongres Amerika Serikat (AS) telah menyetujui UU Pemberantasan Islamophobia Internasional dan akan diproses ke senat.
Menanggapi persoalan ini, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jakarta sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Jimly Asshiddiqie buka suara. "Mari kita tunggu legislasi final dari Undang-Undang AS yang bersejarah tentang Pemberantasan Islamofobia Internasional ini," cuit Jimly melalui akun @JimlyAs, Senin (14/2/2022).
Ketika dihubungi Hukumonline melalui sambungan telepon, Rabu (16/2/2022), dia menyampaikan pandangannya bahwa kini seluruh dunia sedang membenci dan memusuhi umat Islam. Mulai dari negara yang damai dan tenang, seperti New Zealand yang memiliki Islamic city index tinggi tetapi terjadi penembakan orang-orang yang sholat di masjid. Kemudian dia juga mencontohkan yang pernah terjadi di India, Myanmar, hingga China.
Menurutnya, selama ini belum pernah terjadi dalam sejarah panjang umat manusia muncul gelombang Islamophobic dimana-mana seperti sekarang ini. Penyebab maraknya kebencian terhadap umat Islam terjadi karena perilaku umat Islam sendiri. Oleh karena itu, Jimly mengingatkan akan pentingnya berintrospeksi diri.
“Islam in crisis. Sekarang ini Islam itu sedang krisis, tapi krisis persepsi orang tentang umat Islam gara-gara perilaku umat Islam sendiri. Jangan menampilkan hal hal yang menakutkan. Tetapi (disamping itu) yang menjadi problem, ini kan permukaan, orang harus bicara apa sebabnya? Yang dibicarakan itu akibat dan dampak buruk terorisme, tapi sebab munculnya terorisme kan tidak pernah dibicarakan.”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menilai kemunculan gerakan radikal dan terorisme yang menyangkut pautkan agama Islam disebabkan oleh adanya ketidakadilan global. “Orang tidak mau tahu ketidakadilan itulah yang menjadi sumber munculnya gerakan-gerakan radikal itu. Maka menurut saya, ini harus di-stop demi masa depan kemanusiaan yang damai,” harapnya.